Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Budi Pekerti Tidak Cukup Hanya Disekolahkan

7 Januari 2020   23:35 Diperbarui: 7 Januari 2020   23:44 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai tertinggi dari pelajaran budi pekerti bisa saja 100 atau A+, namun itu hanyalah nilai tempel yang bisa ditulis berapapun. Jika guru takut nilai siswa terlalu sempurna, mereka bisa saja menuliskan 95, 97, atau bahkan 99. Tapi, apakah nilai itu adalah bentuk tertinggi dari budi pekerti siswa?

Sudah tanda tanya, jawabannya pun tanda tanya. Artinya, berapapun nilai budi pekerti yang dicantumkan tidak serta-merta akan mewakili pencapaian siswa secara utuh.

Dari sini, ada paradigma yang perlu diubah dalam sekolah. Sekolah hari ini sebaiknya tidak lagi seperti mesin scanner yang bisa mencetak output beragam profesi. Tidak juga seperti mesin blender yang bisa menghaluskan cabai sekejap mata.

Akan percuma siswa masuk scanner jika nantinya hanya akan menjadi duplikat-duplikat cerdas namun tidak bertanamkan budi pekerti. Scanner walaupun hebat juga bisa menghadirkan pemalsuan-pemalsuan karakter. Cap basah bisa tetap jadi cap basah jika discan, bahkan uang pun demikian.

Tapi kemurnian cap dan keaslian uang tidak bisa discan melainkan harus dibuat sendiri, dilakukan sendiri, diusahakan sendiri, ditanamkan sendiri, hingga ia menjadi sesuatu yang tidak asal cetak.

Begitu pula dengan siswa. Siswa yang masuk sekolah dan bercita-cita jadi dokter misalnya, bisa saja discan jadi dokter. Tapi, karakter seorang dokter harus ia tanamkan, usahakan, dan biasakan agar menjadi seorang dokter yang berbudi pekerti luhur.

Tidak jauh beda dengan scanner, mesin blender pun demikian. Jika orangtua menganggap sekolah seperti mesin blender yang bisa segera menghaluskan budi pekerti siswa secara cepat, rasanya itu keliru.

Budi pekerti tidak akan halus secepat kerjanya mesin blender karena sejatinya siswa mesti menggiling budi pekertinya sendiri. Pembiasaan sikap dan perilaku mesti diulek berkali-kali dengan penuh keringat, asam-garam, bahkan air mata. Setelah itu barulah ia bisa halus dan berkarakter.

Sayangnya, baik mesin scanner budi pekerti maupun cabai giling tidak semata-mata tersedia sepenuhnya di sekolah. Okelah, mungkin banyak siswa yang memiliki budi pekerti agung di sekolahnya. Tapi, bagaimana budi pekertinya di rumah, atau di masyarakat?

Agar tidak menjadi siswa yang berbudi pekerti tipu daya, orangtua perlu turut serta mengasah karakter anaknya. Guru memang wajib jadi teladan, tapi keteladanan itu hanya bisa tertularkan saat bertemu siswa di sekolah. Di luar, keteladanan telah menjadi tanggung jawab orangtua.

Jika tidak demikian, maka jawaban dari pertanyaan di atas tadi hanya akan berupa pengertian dan pengetahuan. Tanpa ada pemaknaan, tanpa ada kesan, dan tanpa ada perenungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun