Akhir tahun sudah menjelang, tapi resolusi untuk tahun depan tak kunjung singgah. Apa ya? Ahh, sepertinya godaan menikah pada tanggal cantik 20-02-2020 semakin membahana. Upps, Â entah sampai atau tidak umur ini.
Bukannya tidak mau, tapi saya cenderung tidak berani menetapkan resolusi nikah. Singkatnya, jika jodoh telah siap dijemput dan saya punya bekal yang cukup, maka akan disegerakan. Jika belum? Apa boleh buat. Takdir mubram bukan soal pilihan kita, tapi pilihan Tuhan.
Terang saja, sudah berapa banyak teman yang saya temui begitu kegilaan mengejar nikah. Dekat dengan ini, tiba-tiba esok menjauh. Dekat dengan itu, akad sudah menjelang, eh tiada restu dan jalannya begitu terjal. Terus seperti itu. Bacanya saja begitu menjengkelkan!
Terus membayangkan nikah, nikah dan nikah, jangan-jangan nanti umurnya kelewatan? Biarlah, karena sejatinya umur menikah tidak ada bilangannya. Pemerintah boleh saja menetapkan umur cocok menikah. Mau 19 tahun, 23 tahun, atau bahkan 25 tahun terserah. Bukan soal cocok atau tidak cocok, tapi masalah takdir, sudah tiba waktu akad atau belum.
Atau, tanggal tadi kurang cantik. Ya, tiba-tiba saja teman saya Mas Septian mengusulkan nikah tanggal 29 Februari 2020. Cantik bukan? Ya, perayaan ulang tahun pernikahannya lebih hemat, karena tanggal 29 Februari hanya muncul setiap 4 tahun sekali. Ah, ribet kali! Kalau esok sudah berjodoh, ya esok saja. Cukup
Tampaknya, Resolusi dan Takdir Itu Berjalan Beriringan
Ada rasa yang berbeda bertajuk keyakinan bahwa resolusi itu sejalan dengan takdir. Singkatnya, mengelak takdir berarti menjauhkan diri dari ketercapaian terhadap resolusi.
Perjalanan hidup saya di tahun 2017-2018 seakan menandakan bahwa melawan takdir itu begitu sulit dan amat menyakitkan.
Kesakitan ini bermula sejak bulan Januari-Agustus 2017, saat saya banting setang untuk bekerja di luar profesi. Tamatan sarjana pendidikan tapi bekerja sebagai kontraktor di salah satu PT di Riau. Alasannya sederhana, yaitu ingin cepat dapat uang. Walaupun ngepet akan lebih cepat! Hahaha
Hari pertama bekerja, badan langsung tepar. Terang saja, 6 jam bekerja fisik di pabrik begitu melelahkan. Namun, rekan-rekan kerja begitu antusias karena sifat saya yang humoris. Padahal pendiam. Hmmm
Dua bulan bekerja, hati begitu senang melihat slip gaji. Lumayanlah, dibandingkan kerja sebagai guru honorer. Tapi anehnya, sebanyak itu gaji sebanyak itu pula uang habis.