Berbicara tentang bela negara, saya langsung terngiang dengan masa-masa Pelatihan Dasar (LATSAR) CPNS 2019 bulan November kemarin. Di sana kami diberikan materi hingga 14 modul yang mesti dikunyah dalam waktu 3 minggu.
Ada materi wawasan kebangsaan, nasionalisme, komitmen mutu, akuntabilitas, pelayanan publik, dan yang paling tebal adalah modul kesiapsiagaan bela negara. Tidak kurang, ada lebih dari 270 lembar materi tentang bela negara. Wooow, sungguh menakjubkan.
Ini menandakan bahwa kewajiban bela negara bukan bagi mereka yang berada di garda terdepan negeri ini saja, melainkan juga kewajiban bagi kita semua. Bukan hanya mereka yang selama ini telah menjadi pelayan publik, melainkan juga publik itu sendiri.
Memang benar jika hari ini kita sudah beda zaman. Tidak sejalan lagi jika kita melulu membahas tentang bambu runcing serta simbahan darah merah yang berada di ujung lancipnya. Begitu pula dengan perkara masa lampau seperti gerilya untuk membasmi para penjajah.
Namun, kita tetap tidak boleh melupakan sosok Mr. Syafruddin Prawiranegara yang dulu dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk memimpin Indonesia di masa genting. Waktu itu Belanda berusaha menggagalkan kemerdekaan negara kita dengan berusaha menangkap Presiden Soekarno dan wakilnya.
Sebelum itu, Presiden Soekarno sempat memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin untuk tetap menjaga negeri ini dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tepatnya pada 19 Desember 1948 sekaligus menjadi tanggal diperingatinya Hari Bela Negara.
Hari ini tepatnya 19 Desember 2019, berarti sudah 71 tahun kita melewati masa itu. Walau sudah berdiri dan berlari di era milenial, kita tetap punya tugas untuk berbela negara.
Menurut Wakil Ketua MPR-RI Wahid Nur Hidayat tugas kita sekarang simpel saja, yaitu mengubah energi perlawanan dan jihad melawan penjajahan menjadi etos kerja untuk membangun bangsa secara paripurna demi terwujudnya keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sederhana memang, karena kita hanya diminta untuk mengubah energi malas, lelah, letih, lunglai, lesu, buntu ilmu, serta berpikir dangkal menjadi etos kerja untuk membangun bangsa.