Kapan ya Pak Nadiem mau mengunjungi sekolah pelosok?
Sekolah dengan ruang seadanya, tanpa sinyal internet, dan belajarnya lesehan. Ada sekolah yang nebeng di gedung tua, numpang di pondok, dan gurunya merangkap kepala sekolah. Ada pula sekolah yang jarak tempuhnya cukup jauh dari pusat kota dengan jalan yang becek dan berbatu.
Jika sudah seperti ini, jangan tanya kelengkapan pakaian dan atribut siswa. Tanya saja, mereka datang sekolah atau tidak esok hari. Kehadiran mereka para penerus bangsa sejatinya sudah menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia itu berkemajuan.
Maunya, tolak ukur kualitas pendidikan Indonesia didasarkan pada sekolah-sekolah pelosok agar pemerintah tahu di mana salahnya pendidikan kita. Jika melulu berkaca dari sekolah model (rujukan, favorit) untuk mengukur kualitas, sudah tentu jawabannya "wow dan mantap" karena memang sesuai dengan keinginan serta program pemerintah.
Apakah sekolah model itu mewaliki kualitas pendidikan Indonesia? Harusnya tidak. Tepatnya bukan mewaliki, melainkan itu bercerita tentang harapan kualitas pendidikan di Indonesia. Layaknya mangga muda, warna kulit buah yang kemerahan tetap tak bisa menutup mentahnya mangga. Ujung-ujungnya adalah pemerataan kualitas pendidikan.
Di sana Nadiem berbicara tentang digitalisasi, maka di sini harusnya sibuk dengan pengadaan infokus, komputer, dan ruang maya. Di sana Nadiem berbicara tentang era 4.0, maka di sini harusnya terus tersenyum dengan kualitas sinyal 4G LTE.
Namun, hal ini seakan hanya jadi mimpi bagi sekolah pelosok yang belum tersentuh listrik dan sinyal. Beruntung jika mereka bisa mendengar radio. Ngerinya, kesenjangan yang dirasakan sekolah pelosok akan menular kepada mindset para guru yang mengajar di sana.
Sedikit pesimis memang. Seperti contoh pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 tentang "mengamati tayangan/film". Guru mau menyambung listrik pakai apa? Siswa mau pinjam infokus sama siapa? Ujung-ujungnya hanya dilewati saja.
Khawatirnya, guru pelosok malah kebanyakan berkeluh dan mulai berpikir realistis dengan kekurangan yang ada.
"Untuk apa menjalankan kurikulum 2013, toh sarana dan prasarana tidak mendukung!"
"Bagaimana mau belajar jika buku-buku ajar telat nyampe!"
"Ahh, sudahlah! Gak usah muluk-muluk. Toh, ini kan hanya sekolah pelosok!"
Jika sudah seperti ini bisa-bisa sekolah pelosok sebagai gerbong kereta paling belakang segera ditinggalkan Nadiem. Nadiem dengan lokomotifnya akan melaju dengan kecepatan revolusi 4.0 dengan klakson digitalisasi dan berasapkan teknologi.
Lalu sekolah pelosok dan gurunya bagaimana? Mau tidak mau. Kalau mau ikut maka berubahlah, kalau tidak maka punahlah. Jikapun tak bisa mengejar dengan sarana, prasarana, dan media, maka bisa dikejar dengan pola pikir yang berkemajuan.
Berpikir Global Bertindak Lokal
Guru boleh mengajar sekolah pelosok, namun pemikirannya jangan pelosokan. Sudah sekolahnya pelosok, harapannya rendah, pemikirannya sempit, kemudian terus-menerus berkeluh, apakah tidak semakin menderita?
Biarlah jadi kucing yang makannya pucuk ubi rebus namun terus mengejar ikan mujair, daripada harus jadi elang yang hanya mencukupkan dirinya untuk makan bangkai ayam tanpa mau terbang mengejar tupai gemuk.
Sekolah boleh pelosok, listrik boleh tak ada, tapi tidak dengan pemikiran. Pandangan guru harus global dan berkemajuan. Bukan berarti tidak bisa mengamati sesuatu jika tak ada infokus. Bisa dengan cara lain seperti berkeliling di dekat sekolah dan mengamati benda atau sesuatu yang bernilai edukasi.
Seperti itulah pemikiran global namun bertindak lokal. Artinya, pemikirannya terus untuk kemajuan dengan berinovasi sesuai dengan keadaan dan kesanggupan lokal.
Bangun Nilai, Bukan Paksakan Kurikulum
Jika buku revisi tak kunjung tiba dan surat undangan untuk sosialisasi kurikulum belum bertamu, maka tidak bisa seorang guru terus-menerus memaksa kurikulum dan menghabiskan ratusan halaman buku satu per satu.
Akan percuma jika anak-anak pintar dan hafal isi buku jika tidak ada nilai yang tertinggal dan merekat di hati dan perilaku mereka. Sejujurnya, kita begitu sakit melihat kenyataan bahwa saat ini generasi penerus bangsa semakin bobrok nilainya.
Secara akademis mungkin tinggi, tapi secara akhlak, moral, dan etika mereka hancur. Orang berpendidikan tapi tak punya adab. Artinya percuma, karena tak akan ada satupun orang yang menghargainya.
Di sinilah pentingnya seorang guru dalam mengajar, yaitu dengan membangun nilai dan karakter anak untuk menjadi pribadi yang hebat dan keren dari sisi adab dan moralitas. Ilmu bisa dicari, namun pembiasaan adab tidak semudah kelihatannya.
Kurikulum memang mengajarkan nilai, tapi itu teorinya. Setiap anak mungkin hafal pengertian jujur, tapi tidak dengan pembuktian perilakunya sehari-hari. Ini menjadi krusial dan harus ada pembenahan secara mendesak.
Tak peduli di kota maupun di desa terpencil, adab dan akhlak tetap menjadi prioritas dalam berperilaku. Keduanya hanya bisa digapai dengan pembiasaan atau pengalaman, dan itu tidak bisa dicapai dengan kurikulum. Butuh sosok guru teladan yang memiliki mindset yang hebat.
Bukan Keluh, Tapi Berdayakan Semua yang Ada
Terus berkeluh karena kualitas pendidikan di Indonesia yang semakin senjang? Boleh-boleh saja. Tapi apakah keluhan kita atau para guru langsung dibalas layaknya chat whatsapp yang berconteng biru?
Bahkan walaupun tenggorokan ini berdarah karena teriakan keluh, belum tentu akan ada perubahan yang berarti. Untuk itulah kita tidak perlu terus-menerus berkeluh karena kekurangan, karena kesenjangan, ataupun perbedaan kualitas yang mencolok.
Seperti itulah sejatinya sekolah pelosok. Semakin guru berkeluh dengan keadaan, maka perlahan mereka akan semakin lupa dengan apa yang mereka miliki. Padahal, komitmen mutu tidak melulu tentang barang, media, dan sarana terkini.
Mutu bisa dicapai dengan memberdayakan semua yang ada secara efektif, efisien, kreatif, dan inovatif. Inovatif pun tidak melulu tentang membuat atau mendatangkan yang baru. Cukup amati, tiru dan modifikasi, maka jadilah ia sebuah inovasi.
Mindset seperti inilah yang mestinya selalu tertuang di benak para guru dan sekolah-sekolah pelosok. Jika memang kekurangan personil, maka siswa bisa diberdayakan untuk menggenjot pendidikan yang berkemajuan. Jika masih kurang juga? Boleh ajak masyarakat sekitar.
Akhirnya, gedung sekolah bisa saja punah, tapi tidak dengan mindset guru. Ini tidak bisa dibolak-balik, karena jika mindset yang punah maka habislah gedung sekolah, para guru, berikut dengan siswa-siswinya.
Kita tidak mau ditinggalkan oleh Nadiem Makarim. Kita harus mengejar kemajuan bersamanya. Jika ia mau maju dengan teknologi dan digitalisasi, maka kita harus ikut maju bersama mindset yang keren dan berkemajuan.
Suatu saat, kita pasti merindukan masa di mana kita bisa sama-sama menjadi lokomotif dan berjalan beriringan di garda terdepan pendidikan Indonesia.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H