Nanti dulu berkisah tentang harapan besar orangtua terhadap kesuksesan anaknya. Nanti juga bercerita tentang menjadikan anak sulung sebagai calon penerus tulang punggung keluarga. Karena jika terus-menerus dibiarkan seperti ini, maka harapan para orangtua akan semakin tergusur oleh smartphone.
Ibaratkan makan ayam goreng, smartphone tidak bisa jadi terus-menerus disayur tiap hari. Harus ada variasi dan ragam di atas nasi kita. Hal ini semata-mata demi kesehatan anak. Bayangkan saja jika anak setiap hari makan ayam goreng, bisa-bisa ia "berkokok" kebosanan.
Walaupun dengan smartphone anak tidak akan pernah bosan, tetap saja orangtua tidak bisa menjadikannya sebagai cara damai untuk tidak menabuh gendang perang dengan anak. Apalagi jika anak masih berusia 2-5 tahun. Lebih baik diberikan mainan bola, abjad dan angka tiga dimensi, atau beri dia pensil untuk berkreasi.
Jikapun harus pakai smartphone, maka cukuplah menyuapnya 1-2 kali saja, tentu dengan durasi terjangkau layaknya khotib yang sedang khutbah jumat. Itupun harus didampingi oleh orangtua. Â Repot? Memang harus repot jika sayang anak, karena tantangan orangtua hari ini lebih berat.
Selain itu, penting pula bagi para orangtua untuk mengenalkan anak dengan lingkungan sosial. Walau sekadar duduk di teras rumah setiap pagi atau sore hari, setidaknya anak akan memandang  dunia luar dan disibukkan dengan menegur setiap orang yang lewat di depan atau samping rumah.
Endingnya, biarlah banyak orang yang mulai antipati, tapi jangan dengan orangtua. Biarlah pula banyak persepsi yang muncul bahwa generasi milenial sekarang adalah generasi yang apatis dan antisosial, lagi-lagi jangan dengan orangtua.
Semua hanya untuk menerbitkan, menjilid, menggandakan, dan menebarkan generasi milenial yang sehat secara lahir dan batin.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H