Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan Ada "Anu-Anu" dalam Berbuat Baik

9 Oktober 2019   19:55 Diperbarui: 9 Oktober 2019   19:54 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang pasti suka melihat orang baik, tapi tidak semua orang itu baik. Semua orang bisa saja selalu berbuat baik, tetapi tidak semua orang "mampu" melakukannya. Semua orang bisa saja selalu menebarkan kebaikan, tetapi tidak semua orang bisa menangkap kebaikan itu dan menjadikannya biang dari perubahan diri.

Berbuat baik dalam ukuran akal manusia akan menimbulkan beragam sudut pandang. Terang saja, akal manusia yang tak luput dari keterbatasan seringkali disenggol-senggol dan tertumpuk oleh perasaan. Dari sana timbullah "anu-anu" dalam berbuat baik.

Disebut "anu", karena alasan berbuat baik seringkali tidak mau dikatakan oleh seseorang. Seakan-akan alasan berbuat baik itu tidak bernama, terlupa, dan tidak diketahui namanya. Padahal, hati mereka sendiri yang menyembunyikannya.

Walaupun sejatinya hakikat kebaikan adalah berbuat baik tanpa ada anunya, tetap saja tidak banyak orang yang bisa mencapai makna kebaikan hingga tingkat "hakikat". Darinya, kebaikan yang murni mulai tergusur dengan perasaan dan emosi berlebihan.

Meski datangnya perasaan dan emosi itu hanya sesaat, nyatanya hal-hal yang seperti itulah yang akan melahirkan perbuatan baik dan hanya karena ada 'anu-anu'nya.

Akhirnya, muncullah kebaikan-kebaikan dengan alasan hanya karena orang lain, karena nilai (uang), karena ingin dipuji, bahkan karena ingin dicintai.

Keberadaan "anu-anu" ini kedepannya akan begitu mempengaruhi kehidupan seseorang, di manapun ia berada, cepat atau lambat.

Berbuat Baik Karena Orang Lain, Akan Ada Saatnya Kita Kecewa

Tak terpungkiri bahwa keberadaan orang lain sangat mempengaruhi perasaan kita. Karenanya, kadang-kadang perasaan dan emosi kita bisa naik turun. Sebab itulah sering muncul paradigma lain dari kebaikan.

Anggapan-anggapan seperti ingin dipandang baik oleh orang lain, berbuat baik supaya mendapat respect dari orang lain, hingga ingin mendapat kesempatan kerja yang lebih layak seringkali mengecilkan hati kita.

Padahal ujung dari anggapan-anggapan itu tidaklah selalu manis. Kalau tidak kita yang kecewa, maka kitalah yang mengecewakan orang lain. Terang saja, di dalam kebaikan yang telah rusak kemurniannya karena pengharapan berlebihan terhadap sesuatu yang mungkin fana, pasti sudah terdapat kebosanan, kejenuhan, dan perubahan sikap secara tiba-tiba.

Perubahan-perubahan ini akan tampak ketika seseorang sudah mencapai anggapan dan harapan yang ia idam-idamkan selama berbuat baik. Di saat itulah timbul kekecewaan, karena kebaikan tadi sudah mencapai batasnya.

Berbuat Baik Karena Uang, Akan Ada Saatnya Kita Jatuh

Uang seringkali membutakan, hingganya sangat mempengaruhi kehidupan orang-orang yang kurang kuat prinsip diri dan iman. Darinya, timbullah perilaku berlebihan bahkan keterlaluan untuk mendapatkan predikat baik dari uang itu sendiri.

Tidak sedikit pula yang dikorbankan untuk mencapai predikat itu. Mulai dari kesehatan, waktu istirahat, waktu dengan keluarga, bahkan relasi dengan masyarakat pun ikut terdegradasi. Pemikiran diri tersempitkan hanya sebatas uang.

Meskipun cara kita memperjuangkan uang itu adalah dengan baik, akan ada saatnya kita jatuh. Jika sudah sakit, tak bisa lagi mengumpulkan uang. Jika kelamaan istirahat, tak berlaku lagi time is money. Bahkan, jika sudah sering pulang kampung, berlarianlah uang-uang dari dalam dompet dan atm.

Padahal, rezeki tidaklah sesederhana itu, rezeki tidak pula hanya sebatas uang. Jika melulu mengukur rezeki dengan uang, bisa-bisa kita mati lebih cepat. Uppss.

Berbuat Baik Karena Pujian, Akan Ada Saatnya Kita Terhina

Pujian sering pula menghanyutkan. Berlama-lama dengan pujian akan meningkatkan rasa bangga sekalian meninggikan identitas diri di antara orang banyak. Karena bisa menghanyutkan, banyak orang ingin terhanyut dan hidup awet bersama pujian.

Untuk mencapai itu, mereka berlomba-lomba mengejar pujian, termasuk dalam berbuat baik. Mereka hanya ingin mendapatkan kata-kata:
"Wah, Anda hebat!"
"Wah, Anda cerdas!"
"Saya tak menduga Anda punya ide cemerlang!"

Ujung-ujungnya mereka dapat tepuk tangan meriah berjam-jam, bahkan terbawa mimpi. Haha.

Namun demikian, baik karena pujian pelan-pelan akan bertemu dengan lawan katanya, yaitu hinaan. Dan terang saja, tidak semua orang tahan dengan hinaan serta sindiran yang bertubi-tubi. Tapi ya, itulah hasil pencernaan dari makan pujian. Maka darinya, tak perlu terlalu bombastis mengejar pujian.

Berbuat Baik Karena Ingin Dicinta, Akan ada Saatnya Kita Dimusuhi

Sudah sangat sering kita bertemu dengan para remaja bahkan dewasa yang berpacaran beberapa bulan lalu putus, cari pacar lagi lalu putus lagi, terus bersiklus layaknya rantai makanan. Padahal, mereka selalu berbuat kebaikan.

Dari mulai dibelikan pulsa, diajak makan, diajak nonton bioskop, sesekali shopping, hingga terus-menerus telponan. Hidup seakan milik berdua, penuh cinta, dan dunia ibaratkan hanya sekecil daun cabai keriting karena keseringan berjumpa.

Padahal si wanita tidak pernah tahu dari mana pacarnya dapat uang untuk beli pulsa, shopping, nonton, dan seterusnya. Dan ketika ketahuan, akhirnya? Kita putus! Huhu. Langsung saja satu desa, bahkan satu kecamatan terkena banjir bandang karena air mata cinta!

Dan mirisnya, perilaku-perilaku baik beserta bungkusan anu ini seringkali berakhir dengan permusuhan. Walau dianggap baik, tapi jika semuanya berawal dari kebohongan dan terus dalam kebohongan maka akan berakhir tragis.

Begitu pula dengan pekerjaan. Penyimpangan berbuat baik seperti pencitraan, memandang derajat dalam kerja, serta ingin di anggap orang lain kaya seringkali berakhir dengan perselisihan dan permusuhan. Padahal semuanya akan lebih mudah dengan sebuah pengakuan.            

Berbuat Baiklah Untuk Diri Kita Sendiri

Gambar hasil olahan pribadi.
Gambar hasil olahan pribadi.
Jika perbuatan baik sudah penuh dengan "anu-anu", lalu yang sakit siapa? Agaknya, diri sendiri akan sakit dan orang lain ikut-ikutan kecewa, bahkan juga tersakiti. Padahal awalnya baik, pengertiannya baik, paradigma dan persepsi orang juga baik. Tapi gara-gara "anu", pengertian baik terus-menerus timpang dan menemui arah yang salah.

Untuk meluruskan pengertian berbuat baik, maka kita hanya perlu berbuat baik untuk diri kita sendiri. Bukan untuk si anu, dan bukan karena ada anu-anunya. Jujur saja, semua kembali kepada diri kita masing-masing.

Ketika itu adalah perbuatan baik yang tulus, maka kebaikanlah yang akan bertamu kepada kita. Namun ketika itu adalah perbuatan buruk, maka keburukanlah yang akan menginap bersama kita.

Tulus kita berbuat baik, maka tulus pula pujian yang akan datang, begitupun dengan cinta. Tulus kita bekerja, maka uang-uang dan rezeki juga akan datang bersama ketulusan itu. Untuk itu, mari bersama kita gapai hakikat dari kebaikan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun