Senin, 30 September 2019 menjadi konklusi bagi anggota DPR, yang sekaligus menjadi tanggal dilaksanakannya Sidang Paripurna akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019. Meskipun sudah dipastikan bahwa tidak akan ada lagi pengesahan RUU pada sidang ini, tetap saja kinerja mereka kalah jauh dibandingkan periode sebelumnya.
Merunut pada catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen, selama hampir lima tahun ini DPR periode 2014-2019 hanya mengesahkan 84 RUU, turun jauh dari DPR 2009-2014 yang mencapai 125 RUU.
Lebih rincinya, dari 84 RUU tersebut 35 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional prioritas yang beberapa darinya merupakan revisi berulang dari Undang-Undang yang sama. Dari sini terlihat bahwa sejatinya DPR hanya ingin terlihat repot dengan menambah kuantitas RUU tanpa ada perubahan yang berarti.
Yang membuatnya tambah pelik, RUU yang sedikit ini malah bercampur dengan kontroversi dan balapan pengesahan. Darinya, timbullah demonstrasi berkepanjangan yang mengusik dan menambah duka negara.
Bahkan, karena sedikitnya produksi Undang-Undang periode 2014-2019, DPR malah digelari sebagai "Juara Diam di Senayan". Tak sekadar melebih-lebihkan, karena nyatanya perbincangan di seputar Senayan yang hanya di dominasi salah satu isu yang tak substantif, dan parlemen yang terlalu maskulin bagi Indonesia yang masih memiliki banyak persoalan isu perempuan dan anak.
Keadaan ini sejatinya akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap DPR menurun drastis. Padahal, DPR mesti terus menyebarkan kepercayaan positif agar keluh rakyat di negeri ini berkurang.
DPR Masih Dianggap Gudangnya Uang
Meski kenyataannya demikian, ada persepsi masyarakat yang tak kunjung berubah bahkan hingga hari ini.
Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa anggota DPR adalah gudangnya uang. Karenanya, DPR dinilai sebagai profesi yang menyenangkan hidup serta kerjaan pengumpul harta.
Darinya, banyak orang rela menghabiskan uangnya, bahkan melakukan politik uang agar dapat duduk di kursi parlemen. Terlebih lagi, anggaran yang dialokasikan untuk DPR RI untuk tahun 2020 mencapai Rp. 5,11 triliun, naik Rp 833 miliar ketimbang tahun anggaran terakhir. Angka ini sungguh menggiurkan publik.
Karena itulah segenap masyarakat, baik dari kalangan mahasiswa, Karang Taruna, serta organisasi-organisasi daerah lainnya sering kali bertamu ke rumah para anggota Dewan. Tak tanggung-tanggung, mereka sudah menyiapkan proposal kegiatan dengan 5-7 rangkap yang berisi rancangan anggaran dana kegiatan.
Entah itu acara 17-an, sosialisasi produk, ataupun lomba-lomba tingkat desa, tetap saja DPR/DPRD menjadi tujuan terdepan. Jika itu sekadar iuran ikhlas, mungkin warga desa hanya bisa menyumbang paling besar Rp 50 ribu saja, itupun jika warga punya usaha sendiri.
Tapi jika sudah minta iuran ke DPR, maka angka 500 ribu hingga jutaan yang akan tercatat bersama tanda tangan proposal tersebut. Makin besar besar jumlah iuran dari DPR, rakyat akan makin senang, sekaligus menghasilkan persepsi bahwa DPR peduli dan perhatian dengan rakyat.
Walaupun kenyataannya itu adalah uang pribadi DPR, tetap saja sebagian besar rakyat tidak mau tahu. Bagi rakyat, opsi datang ke rumah anggota dewan juga masih lebih baik daripada harus mengirim proposal ke Pemda maupun ke kediaman Bupati yang sejatinya memiliki masa tunggu 1-2 minggu.
Kenyataan ini juga beriringan dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid yang berkeluh bahwa masih ada sejumlah kelompok masyarakat yang menganggap wakil rakyat merupakan gudangnya uang. Akibat persepsi itu, maka anggota DPR sering menjadi sasaran masyarakat untuk meminta bantuan dalam bentuk materi.
Padahal, uang-uang bermiliaran bahkan triliunan itu hanyalah titipan untuk dijadikan pembahasan dan penganggaran dana bagi para DPR.
Yang Tampak Dari DPR Bukanlah Pekerjaan Bersih
Dengan anggaran dana sebanyak itu, seharusnya DPR dapat melaksanakan pekerjaannya dengan "sangat baik". Tapi kenyataannya, pada periode 2014-2019 sudah puluhan anggota DPR yang terjaring "bekerja kotor" alias korupsi.
Terang saja, fakta ini seakan menghancurkan pasaran kepercayaan masyarakat hingga menyentuh harga yang tak layak jual terhadap DPR. Akhirnya, timbullah persepsi bahwa:
"Kalau mau kaya kerja jadi DPR saja!"
"Jadi DPR enak, hanya datang duduk diam lalu dapat duit!"
"Anda kurang wisata? Jadi DPR saja!"
Padahal, pekerjaan DPR tidaklah semudah dan "sekotor" ini. Dalam 5 tahun masa kerja, mereka harus terus menjadi penyalur aspirasi rakyat. Di samping itu, mereka juga harus menjalankan fungsi legislasi dengan terus-menerus melakukan kegiatan menyusun, membahas, menerima, menolak, hingga menetapkan berbagai peraturan.
Sungguh, berkali-kali kegiatan itu akan sangat menguras tenaga, pikiran, bahkan perasaan. Makanya jika meja rapat DPR itu masih utuh tanpa goresan, patut dipertanyakan apa saja kerja mereka selama ini.
Beberapa hal inilah yang mengantarkan masyarakat hingga menghasilkan persepsi bahwa DPR itu kerjanya kurang bersih.
DPR periode mendatang mestinya dapat menepis persepsi ini secara perlahan. Misalnya dengan kerja-kerja nyata yang mereka tunjukan. Kelelahan, keletihan, dan kecapekan nyata yang mereka perlihatkan. Serta peraturan-peraturan bijak dan adil yang mereka keluarkan. Tentunya dengan senantiasa melibatkan rakyat.
Hingganya, rakyat dapat memahami secara jelas fungsi DPR melalui pengabdian nyata yang mereka tunjukkan untuk negara. Untuk Indonesia yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih bahagia.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H