Sedihnya, para Bucin sekarang sudah berkeliaran di lingkungan SD. Beberapa bulan mengajar di SD, ternyata ada juga para budak cinta berserakan. Sesekali saya ingin tidak percaya dengan situasi ini. Jelas saja, di sini sinyal internet tidak ada, sinyal telepon pun hanya operator-operator tertentu saja yang kuat jaringannya. Tapi kok banyak bucin-nya?
Jika SD di pusat kota atau metropolitan banyak Bucin, tentu kita memaklumi karena memang akses teknologi dan informasi sudah begitu cepat. Tapi jika di SD pinggiran?
Lagi-lagi soal cinta yang menjadi masalah. Anak-anak yang masih duduk di kelas 4 SD saja sudah begitu hafal dengan adegan-adegan berikut dengan jam tayang sinetron-sinetron berjudul cinta-cinta.
Dan hebatnya, anak-anak kelas 5-6 SD sudah bergaya layaknya orang dewasa saat mereka berada di luar sekolah. Dengan hiasan lipstik merah merona, pakaian jeans ketat, hingga pernak-pernik lainnya yang mempercantik diri. Sekilas, mirip sekali dengan gayanya para pemeran di sinetron cinta-cinta.
Sungguh meleset jika "cinta yang salah" terus merambat, terlebih lagi jika sudah mengakar pada diri anak-anak SD. Mereka masih belum akrab dengan Android. Bagaimana jika mereka sudah punya Android semua? Lengkap sudah kebakaran di lahannya generasi bangsa. Sudah kurang literasi, hobinya main tik-tok, dan perilakunya "Bucin".
Sajikan Sinetron Yang Menginspirasi
Stasiun televisi yang menayangkan "cinta-cinta" secara berlebihan agaknya perlu di sikapi dengan serius oleh KPI. Bukan hanya sekadar tayangan kekerasan ataupun tindakan brutal yang jadi sorotan, tetapi juga soal perilaku "cinta" yang kelewatan.
Jika stasiun televisi hanya mengejar rate dan "rame penonton", mereka seharusnya bisa menghadirkan sinetron-sinetron yang menginsipirasi dan banyak nilai edukasinya. Contohnya seperti sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang sudah punya ribuan episode. Adapula Si Doel Anak Sekolahan, Para Pencari Tuhan, Keluarga Cemara, dan lain sebagainya.
Sinetron-sinetron ini bukannya tak mengisahkan tentang cinta. Mereka mengisahkan tentang cinta dan mereka juga punya gombalan andalan. Tetapi tidak sampai menyalahi arti dan makna cinta sejati. Tidak pula membuat penontonnya jadi budak cinta.
Sinetron-sinetron ini juga menarik dan mengayomi semua umur. Edukasinya ada, inspirasinya ada, motivasinya ada, akhlak adab moral dan norma pun ada. Dan jangan lupa, sinetron-sinetron ini begitu populer dan mendapat rate tinggi di hati pemirsa.
Sungguh, kita tidak mau anak-anak kita, murid-murid kita, sanak-kerabat kita, bahkan generasi penerus bangsa tumbuh besar menjadi "Bucin". Kita ingin melihat mereka tumbuh dewasa sesuai dengan umur, pemikiran, dan tingkah lakunya.
Kita pula ingin melihat mereka berkembang dan dapat meraih sendiri arti cinta yang sesungguhnya. Jujur saja, Bucin takkan kenyang dengan kata-kata gombal. Bucin juga tidak akan pintar dengan nilai rapot gombal-gombal. Bahkan Bucin tak akan bahagia jika hanya mendapat cinta yang tabu.