Langit masih abu-abu, namun hebatnya matahari terus bersembunyi. Bukannya dibalik awan tebal, melainkan dibalik kabut asap. Terutama di daerah-daerah yang diberi gelar sebagai daerah dengan Karhutla terbesar di Indonesia. Bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan, justru ini memalukan negeri sendiri.
Sebenarnya apa yang menyebabkan para pelaku tega menyembunyikan sinar matahari dari langit biru? Keuntungan besar? atau hukumnya terlalu ringan?
Sejenak kita bisa lihat di Jambi. Terhitung hingga hari ini, minggu 22 September 2019 warga Jambi belum melihat sinar matahari, bahkan dari pagi hari. Warga pula menyebutkan bahwa fenomena kabut asap yang terjadi saat ini melebihi fenomena asap yang mereka alami pada tahun 2015.
Pengakuan ini menunjukkan bahwa kabut asap di Jambi begitu tebal dan pekat. Karena kepekatan ini, maka langit yang sejatinya biru malah berubah abu-abu saat siang, dan kekuningan saat sore. Bahkan, Sabtu kemarin langit di Muaro Jambi tampak merah. Sungguh, itu bukanlah pemandangan yang indah, melainkan bencana besar.
Beriringan dengan perjuangan Satgas Karhutla serta relawan pemadam api, Polda Jambi telah berhasil mengamankan 18 tersangka Karhutla Areal Konsesi PT Reki Kabupaten Batanghari. Para tersangka diyakini akan terus bertambah, berikut juga dengan korporasi-korporasi yang berada di belakang layar.
Bagaimana dengan hukumannya? Masuk penjara?
Para pencuri motor saja jika tertangkap warga bisa tewas di tempat, padahal tempatnya adalah di penjara. Itu bukti bahwa warga sangat membenci pencuri. Bahkan, hanya sekedar mencuri ayam atau kerbau pun terhakimi massa hingga tewas.
Padahal jika diukur nilainya sungguh tidak seberapa. Beberapa kali, barang curiannya pun dikembalikan. Yang dirugikan hanyalah pihak yang tercuri, dan itu hanya satu dua orang saja. Dan pencurinya mendapat hukuman mati. Tapi, para pelaku Karhutla?
Penjara Hanya Tempat Menginap
Selama ini, yang kita tahu tentang hukuman bagi para pelaku Karhutla adalah penjara dan denda. Jika menilik dari maklumat Nomor 05/MOU/IV/2018 yang terbit di Sumatera Selatan, maka hukumannya adalah 12 tahun penjara beserta denda hingga Rp. 10 miliar. Wah, hukumnya hampir seimbang dengan pelaku perkosaan.
Uang 10 miliar memang begitu besar, tapi kecil bagi para korporasi. Penjara selama 12 tahun sekilas memang lama, tapi kalau sekedar tidur dan "duduk manis" dipenjara, bukankah para pelaku hanya disuruh ngekos?
Alangkah enaknya ngekos di penjara jika makan disediakan orang lain, bahkan bisa order online. Jangan-jangan malah ada tempat sewa kasur, tikar, karpet, televisi, AC, bahkan peralatan make up di penjara? enak sekali!
Agaknya tidak sebanding dengan kerusakan dan siksaan yang mereka buat. Hanya karena BBM 5 liter, semua sekolah terhenti, transportasi dan kegiatan sehari-hari jadi terganggu, negara sebelah terusik, rakyat banyak yang sakit, bahkan mati.
Biaya kerugiannya pun tak terhitung lagi. Bahkan, untuk sekedar menghirup udara yang sehat saja sudah tak tergantikan biayanya. Misalnya, satu orang dalam sekali bernafas dapat menghirup 2 gelas oksigen, yaitu sekitar 0,2 liter.
Dalam 1 menit hitung saja kita bernafas 10 kali, maka kita telah menghabiskan 2 liter oksigen. Jika 1 jam, berarti kita telah menghabiskan 120 liter oksigen. Kalau saja harga oksigen Rp. 20.000/liter, maka dalam 1 jam kita telah menghabiskan uang hingga Rp. 2,4 juta.
Bagaimana jika 1 hari? Berari 2,4 juta x 24 jam = 57,6 juta. Ini hanya akumulasi biaya untuk satu orang, dan itu bisa lebih. Lalu apakah cukup denda Rp. 10 M tadi? Tentu saja tidak cukup untuk membayar oksigen rakyat Jambi walau hanya 1 jam saja. Sungguh, ini adalah kezaliman yang luar biasa.
Gantung di Monas, Lalu Tembak Mati
Agaknya ini bukan sekadar candaan dan khalayan belaka, karena memang bencana Karhutla sudah begitu menyakiti kita semua. Maka darinya, pelaku Karhutla tidak cukup hanya di penjara, bahkan sudah layak di hukum mati.
Sejenak, kita menyimak ulasan Ustadz Abdul Somad tentang hukum pembakar hutan.
Beliau mengatakan bahwa bahwa bencana ini bukanlah kebakaran melainkan dibakar. "Ini adalah kejahatan kok malah didoakan! Pelakunya mesti digantung di Monas kemudian ditembak!"
Jika kita renungkan, mereka para pelaku Karhutla memang telah dicabut rasa kasih sayang di hati mereka. Akhirnya mereka tak punya sedikitpun rasa iba, kasihan, dan rasa kemanusiaan. Padahal, mereka kaya, punya uang, dan sejahtera. Sungguh keterlaluan!
Jika saja bisa kita susun dosa-dosa mereka para pelaku Karhutla, maka tidak akan muat lagi susunan dosa-dosa itu di bumi ini. Terang saja, sudah berjuta-juta rakyat yang terzalimi karena kabut asap, dan sudah berbulan-bulan mereka menderita. Bukankah derita berkepanjangan itu menjadi biang dosa bagi pelakunya?
Agaknya memang wajar bahwa setiap pelaku bencana Karhutla ini di hukum mati. Jika mereka hidup, toh mereka sama sekali tidak bersikap layaknya manusia. Sedangkan hewan saja masih bisa berbelas kasih kepada hewan jenis lain. Walaupun hewan itu tidak punya akal. Walaupun hewan lebih besar nafsunya daripada perasaan.
Denda, Turut Mematikan Api, Lalu di Penjara
Kalaupun tidak mau dihukum mati, maka tidaklah cukup sekedar denda maupun dipenjarakan. Mereka para pelaku Karhutla sejatinya harus merasakan pula sesaknya kabut asap, dan perihnya mata para Satgas dan relawan pemadam api. Jangan seketika langsung dipenjarakan. Tak ada tanggung jawab artinya.
Bahkan di tahun 2017 kemarin, seorang remaja berusia 15 tahun yang menjadi pelaku penyebab kebakaran hutan di Oregon harus membayar denda hingga Rp 508 Miliar. Denda ini telah dianggap pantas oleh Hakim, karena sudah sesuai dengan dampak dan kerugian yang dialami akibat tindakannya.
Kebakaran besar yang menghabiskan hutan liar di Oregon pada 5 September 2017 lalu menghanguskan lahan seluas lebih dari 7.000 hektar. 7.000 hektar saja sudah dianggap kebakaran besar, dan dendanya pun sudah besar. Lalu bagaimana di Indonesia? Kebakaran hutan sudah sangat besar, bahkan menyentuh hingga ratusan ribu hektar tahun ini!
Terang saja, sebesar apapun uang denda tetap tidak akan mampu menggantikan kerugian dan kesakitan hati penderita kabut asap. Terlebih lagi jika itu sudah tentang nyawa, maka "uang duka" ratusan juta tetap tak dapat jadi penawar kesedihan.
Biarpun ajal adalah ketetapan Tuhan, setidaknya semua dari kita berharap untuk mati dalam keadaan baik, di tempat yang baik, dan dengan cara yang baik.
Maka darinya, pelaku pembakar hutan jika sudah tertangkap tidak semestinya langsung duduk dan berbaring nyaman di sel tahanan. Sebaiknya berdayakan mereka. Taruh di garis depan bersama para Satgas Karhutla dan relawan.
Dengan penjagaan ketat, ajak mereka bersama-sama mematikan apa yang telah mereka hidupkan. Ajak mereka memusnahkan apa yang telah mereka ciptakan. Dan ajak mereka mengakhiri penderitaan yang telah mereka hadirkan.
Dengan begitu, adapula sedikit tingkah laku tanggung jawab dari para pelaku Karhutla. Tetap dengan tidak sedikitpun mengurangi masa tahanan dan denda yang telah terketuk palu. Begitupun terhadap para korporasi.
Tidak cukup hanya sekadar mencabut izin mereka atau dengan denda triliunan. Ajak bos-bos besar itu mendekam di antara kabut asap, dan biarkan mereka ikut memadamkannya. Agar mereka tahu betapa tidak berharganya kekayaan mereka dibandingkan dengan bencana ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H