Dunia maya tak seindah kehidupan nyata. Namanya saja maya, yang tertera dalam KBBI artinya hanya tampaknya ada tetapi nyatanya tidak ada, hanya ada dalam angan-angan, dan khayalan. Walau seperti itu adanya, beberapa orang tetap ingin memenuhi arti lain dari "maya", yaitu terang terus, bening, dan jernih.
Untuk memenuhi pengertian ini, tak semua orang berjalan dalam satu "gang".Â
Gang yang mereka anggap dapat menembus jalan raya malah bertemu buntu di ujungnya. Dan gang yang dianggap kurang "eksis" malah bertemu terang pada muaranya. Kadang terbolak-balik, kadang pula tertumpah. Seperti itulah bentuk pisau Media Sosial.
Ada orang yang cenderung pasif di dunia nyata, namun begitu aktif di dunia medsos. Hari-hari dilewati dengan update status, like status, comment status, dan share meme.
Jika mereka mulai bosan, mulailah berganti foto profil setiap jam dengan memberinya efek-efek yang elok menurut kata hatinya.
Adapula orang yang cenderung aktif di dunia nyata, namun tidak aktif di dunia medsos. Mereka begitu sibuk dengan aktivitas kehidupan dan pekerjaan. Terang saja, dari mereka ditemui akun-akun Facebook yang tak ada "isi", Instagram yang tak ada follower, bahkan Twitter yang hanya nama profil saja.
Yang hebatnya, adapula orang yang begitu aktif di dunia nyata, namun aktif pula di dunia medsos. Di dunia nyata mereka sedang dinas, di dunia medsos juga dinas seolah-olah tampak benar-benar sedang dinas. Adapula yang di dunia nyata sedang tidur, namun share sedang dinas di dunia medsos. Uppps.
Jika kegiatan dunia nyata selaras dengan dunia medsos tak mengapa. Seperti para pedagang online yang sedang promosi dan berbagi testimoni. Seperti para pendakwah yang menyebarkan ilmu dan kebaikan.Â
Bahkan seperti para penduduk bumi Kompasiana yang senantiasa berbagi tulisan. Lagi-lagi tak mengapa, bahkan ini sangat baik karena menebar manfaat.
Yang menjadi alarm bahaya dan peringatan dini adalah beberapa dari kita yang terlalu antusias dengan dunia medsos. Hingganya, bersikap sangat serius di medsos dan sedikit demi sedikit mulai antipati di dunia nyata.
Di medsos tampak kerjanya begitu rajin, padahal di dunia nyata hanya "pencitraan". Di medsos tampak begitu berani berkata-kata kotor, namun ketika meet-up di dunia nyata malah pura-pura "kelilipan".Â
Bahkan di medsos kelihatan sangat perhatian, rajin, peduli, dan penuh dengan cinta kasih, tapi di dunia nyata malah kebalikannya. Huufh. Gombal, kucing dalam karung, atau buaya?
Tak Perlu Emosional berlebihan
Dalam bermedsos, beberapa orang seringkali tak kenal dengan situasi. Update status sedih dibalas dengan emoji tertawa bahkan meme-meme lucu. Status sosialisasi dan pembangunan malah dikomentari dengan hinaan berlebihan kepada pemerintah.
Tidak yang tua tidak yang muda. Tidak yang bekerja tidak yang pengangguran. Tidak emak-emak juga ibu-ibu sosialita. Semua sama saja. Keadaan ini akan lebih tampak ketika mereka berada di grup medsos.
Jika ada berita viral yang dibagikan ke grup medsos satu saja, mulailah "rame". Ironisnya, berita duka seperti kecelakaan dan bencana saja masih bisa ditanggapi berlebihan, terlalu emosional menanggapi berita. Belum tentu berita itu benar sepenuhnya. Bisa saja berita editan atau berita lama yang sengaja diedit.
Kadang pula kita temui berita kecelakaan di medsos, isi komentarnya adalah menyalahkan si korban, menyumpahi pemerintah, dan bahkan ada yang buat rusuh dengan komentar, "ayo viralkan, viralkan!"
Jangan-jangan di kehidupan nyata, ketika mereka bertemu dengan orang yang sedang kecelakaan, mereka hanya "update status" dan buat postingan viral saja. Mana hatinya om? Apakah sudah mati, atau tertinggal di dalam dompet!
Santailah dalam bermedsos. Tak perlu marah sampai mencaci maki dan menyebut segala jenis kotoran dan hewan. Jangan kira komentar seperti itu menunjukkan kehebatan, malah kehinaan diri sendirilah yang tampak darinya.
Tak Perlu Fanatik Kelewatan
Tak jarang, beberapa kali ditemukan sikap sukuisme di medsos yang berujung pada fanatik berlebihan. Lagi-lagi ini sering muncul di grup media sosial. Niat awalnya bagus, mungkin karena mau minta solusi, jajak pendapat, ataupun menanti sikap cepat tanggap pemerintah melalui medsos.
Tapi apa yang terjadi beberapa menit kemudian? Jika status yang tampak adalah tentang keluhan terhadap pohon-pohon besar di jalan, mulailah datang gerombolan penduduk maya yang menyindir pemerintah. Ada yang pro dan kontra.
Uniknya, mereka yang pro akan datang ramai-ramai dan membela mati-matian di grup medsos tersebut. Sedangkan penduduk maya yang kontra tak mau kalah dengan menyebar keluhan pemerintah sekarang dan membandingkannya dengan masa lalu. Terus berkepanjangan.
Begitupula dengan unggahan-unggahan lainnya. Kadang, keluhan-keluhan sebatas opini dan jajak pendapat sering berakhir dengan fanatisme berlebihan. Padahal awalnya hanya opini, namun nantinya bisa muncul provokator di sana.
Entah mau buat petisi, mau demo, ataupun mau melakukan aksi, pokoknya heboh orang di medsos membahas keluhan yang seringkali hanya "retorika kosong" semata. Hal yang tabu mau di bawa ke dunia nyata? Seriuslah!
Tak Perlu Terpengaruh Berita Bombastis
Event-event besar di negeri ini seringkali mudah untuk diviralkan. Terlebih lagi jika soal politik dan pemerintahan. Berita yang sebenarnya ringan dan biasa-biasa saja dengan mudahnya bisa jadi berita super bombastis.
Caranya? Dengan "sedikit mengubah cover tanpa mengubah isi" dari berita itu. Misalnya seperti kasus rusuh di Papua baru-baru ini. Penduduk medsos yang tak bertanggung jawab berani mengedit berita rusuh ini dengan menambahkan foto-foto duka masa lalu, yang sama sekali tidak terkait dengan kerusuhan itu.
Akhirnya, viral-lah berita ini sampai ke penjuru negeri, bahkan beberapa negara lain turut serta melihat keributan negeri ini. Mirisnya, si pembuat dan penyebar berita dan video ini tak takut dosa dan tak takut dengan Tuhan.
Adalagi contoh, seperti kemarin saat lagi panas-panasnya Pemilu. Bukan hanya Capres dan Cawapres yang perang debat, rakyat juga ikut perang. Ya, perang tagar. Masih ingat dipikiran kita tentang tagar INAElectionOberserverSOS, yang katanya bertajuk pengawalan Pemilu.
Sontak saja, berita ini segera tersebar dan viral, bahkan bombastis. Banyak penduduk dunia maya menyebarkan dan membagikan hastag ini. Padahal mereka belum tentu tahu apa maksudnya, apa tujuannya, dan apapula manfaatnya bagi mereka.
Pernah saya klik tagar itu di Facebook, tapi tak ada sesuatu hal bombastis yang keluar. Tagar itu hanya muncul dan mengarah pada profil orang. Yahh, begitupun dengan tagar-tagar lainnya. Untuk apa buat tagar maupun hastag tak jelas. Untuk sekadar viral? Aiiii neeee.
Santai di Medsos, Serius di Kehidupan Nyata
Tak perlulah kaget berlebihan, tak perlu pula histeris bahkan fanatik kelewatan. Santai saja di medsos. Sikapi dengan bijak layaknya moderator rapat. Pastikanlah berita yang aktual, bukan animasi, bukan serial drama, bukan pula lelucon.
Untuk menyikapi dan memastikannya, tentu kita butuh literasi. Butuh keluasan dan keleluasaan ilmu. Darinya, pelan-pelan akan lahir kebijaksanaan diri untuk bersikap. Bukan hanya sekedar like, share, dan comment saja.
Meskipun medsos adalah dunia maya, tetap penduduknya adalah orang-orang di dunia nyata. Jika kita buah rusuh di medsos, sama saja kita mengundang keributan di dunia nyata. Hebatnya, penduduk dunia maya ini akan mencari dan memojokkan kita sebagai biangnya masalah.
Dan jangan pula kita terlena dengan dunia maya ini, hingga kita terlupa di mana kita hidup dan berpijak. Hati-hati, jika terlena bisa saja diri kita tertipu dan menginap bersama angan-angan dan khayalan. Santailah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H