"Woii, minggir! Lewat pinggir!"
"Huuy, lihat jalan dong, jangan berhenti mendadak!"
"Oiii, yang di depan, cepat, cepattt!"
"Wooi, lihat-lihat kalo mau nyalip tuh, punya mata nggak!"
Dan akhirnya semua orang di jalanan kesal dengan bunyi klakson dan knalpot kendaraan yang memekakkan telinga.
Sering kita jumpai para pengendara motor, mobil, bus, bahkan truk marah-marah dan kesal di jalan raya. Hebatnya, mereka "sok kuat" hingga memaki-maki pengendara lain atau bahkan pejalan kaki. Padahal, belum tentu para pengendara lain yang salah, belum tentu pula para pejalan kaki yang salah.
Saya pun pernah beberapa kali di maki-maki pengendara motor dan mobil. Padahal saat itu saya sudah berkendara di tepi jalan dengan kecepatan 15 Km/Jam dan sudah menghidupkan lampu sen kiri. Ketika saya berbelok kiri untuk singgah ke warung nasi, seorang pengendara motor berbicara keras seolah-olah menyalahkan saya. Hmm, mungkin dia lelah!
Begitupun halnya dengan sesama pengendara. Saat pergi ke sekolah dipagi hari sering kali saya temui para pengendara yang "sok" di jalanan. Entah karena dikejar Debt Collector atau dikejar malaikat maut, mereka seenaknya saja membunyikan klakson terus-menerus sambil memainkan gas kencang-kencang.
Terlebih lagi jika didepan mereka sedang ada mobil yang berhenti sejenak, mulailah klakson itu berteriak memekikkan telinga. Padahal, didepan sana sedang ada anak Sekolah yang menyebrang. Mirisnya, pengendara itu malah ikut-ikutan klakson dan berteriak "minggir! Jalan, Jalan! Cepat jalan yang didepan!" dengan nada antagonis.
Kalau kita pikir, berapalah waktu yang diperlukan untuk menyebrang, tidak sampai 30 detik! Beruntung masih pagi hari, coba kalau siang hari yang terik dan berdebu, bisa-bisa rusuh dijalan. Huufh. Belum lagi dengan banyaknya pengendara motor yang naik trotoar. Dengan teganya mereka memaki para pejalan kaki, mulai dari klakson yang memekakkan, hingga teriakan-teriakan yang menyakitkan hati.
Pengendara diKejar "Tayang"
Keadaan diri seseorang yang dikejar deadline pekerjaan atau situasi mendesak menyebabkan mereka senantiasa buru-buru. Terlebih lagi jika desakan tersebut mengharuskan mereka menempuh perjalanan cukup jauh. Agaknya mereka tidak akan berpikir panjang lagi. Karena desakan ini, pikiran dan logika mulai menyempit hingga sering pula barang atau benda yang diperlukan tertinggal.
Begitupun saat mereka turun ke jalanan. Kecepatan 80 hingga 100 Km/Jam mungkin sudah bukan ketakutan lagi. Waktu 5 menit saja sungguh berarti. Jika bisa lebih cepat mengapa tidak? Ya, agaknya slogan ini digunakan tidak tepat sasaran. Dan sayangnya, situasi jalan raya tidak selalu menguntungkan para pengendara yang di kejar "tayang".
Dari sinilah emosi sering meningkat. Salip-menyalip baik kanan maupun kiri terus di lakukan bahkan dengan kecepatan tinggi. Sungguh, rasanya malaikat maut sudah berada didekat mereka karena tindakan seperti inilah yang sering kali menyebabkan kecelakaan. Karena ini, tidak jarang pengendara lain yang berjalan pelan, yang mau belok dan putar arah kena "asap" berupa teriakan emosional sang pengendara yang kejar "tayang".
Bahkan kita yang mau menyebrang saja ikut kena "asap". Walau sekedar mendengar teriakan "Wooi, Hoooi,", tapi jika tatapannya menjurus tajam ke kita bersama ciutan rem mendadak kendaraan mereka, tentu kita pun ikut kesal. Jelas saja, itu bukan sepenuhnya salah pejalan kaki. Karena pejalan kaki itu ibarat Tamu Agung yang harus dihormati.
Pengendara Capek
Kelelahan juga menjadi salah satu faktor mengapa para pengendara begitu emosional di jalan. Kadang, karena lelah justru menginginkan sebagian dari kita untuk lebih cepat sampai ke tempat tujuan atau ke rumah. Padahal bisa saja kita beristirahat dan minum kopi sejenak. Lagi-lagi banyak pula yang lebih memilih terus melanjutkan perjalanan agar bisa istirahat di rumah.
Hingganya, pengendara yang capek seakan memaksakan dirinya untuk fokus dan tetap fit dijalanan. Dan terang saja, pijakan pedal maupun putaran gas ingin di pacu lebih dalam, alias ngebut. Uniknya, pengendara yang sedang capek pun sangat emosional. Mungkin bukannya sengaja mereka ingin memaki, karena sejatinya mereka butuh istirahat. Hehe
Pengendara Mungkin Lapar
Ini adalah sebuah kemungkinan, dan benar-benar dapat menyebabkan para pengendara sangat emosional. Dari hellosehat.com, seseorang yang lapar mudah sekali marah, karena otak mereka kurang asupan glukosa. Glukosa adalah nutrisi utama otak. Ketika seseorang kekurangan glukosa, otak akan kekurangan energi, diri susah konsentrasi dan bekerja lambat sehingga membuat "keteledoran".
Karena "keteledoran" ini, para pengendara bahkan bisa tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan dan ucapkan. Lapar telah mengundang kecemasan dan kegelisahan untuk bertamu. Maka darinya, sebelum kita mencicipi jalanan aspal dengan berkendara sangat baik bagi kita untuk sarapan terlebih dahulu. Walau hanya sesuap nasi atau sepotong roti, sungguh itu sangat berarti bagi ketenangan pikiran dan hati kita.
Pengendara Sedang "Banyak Masalah"
Sama halnya dengan pekerjaan, para pengendara tidak selalu berkendara dengan senyum. Banyak pula pikiran yang ikut mereka bawa ke jalanan. Mulai dari ribut dengan istri, suami, konflik dengan tetangga, rusuh dengan rekan kerja, putus dengan pacar, hingga perasaan kesal karena tiap saat menghadiri pesta pernikahan teman seorang diri karena jomblo. Uppss
Karena banyak masalah, kita bisa jadi depresi, mudah cemas, bahkan kurang tidur. Benar saja, ini turut menganggu konsentrasi dalam berkendara. Supir-supir bus dan truk pun seperti itu. Karena lamanya mereka "melek", atau lama dalam mengantri di SPBU, mereka beberapa kali memaki kendaraan yang lebih kecil seperti mobil pribadi maupun motor. Terlebih lagi disertai dengan klakson yang sangat "mengejutkan" hingga kita sering tersentak dan kaget.
Sayangnya kita tak bisa berbalas marah, karena kendaraan mereka lebih besar dan senantiasa melaju dengan kecepatan tinggi. Upps, sabar, sabar.
Pengendara Mau Jadi "Pusat Perhatian"
Ini nih yang suka buat kita kesal! Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa yang "sok-sok" menyaingi Valentino Rossi atau bahkan Marc Marquez di jalanan. Hebatnya mereka beberapa kali meliuk-liuk dijalanan, kadang mengitari kendaraan lain yang berjalan pelan, kadang pula "sok-sok" mengangkat ban depan motor mereka alias Standing, didepan kita pula.
Dan ada juga dari mereka yang "sok" ini menyoraki kita yang berkendara dengan santai. Kadang Emak-Emak tua pula ikut mereka soraki. Sakitnya, nada sorakan itu begitu mengesalkan dan seakan mau menantang kita untuk "balapan". Huuh dasar, giliran mereka berhasil kita kejar saja pasti mereka tertunduk lesu dan "sok" mengaku salah dan minta maaf.
Hal-hal seperti "sok" adalah salah satu cara mereka yang emosional untuk dapat menjadi "pusat perhatian". Sesekali wajarlah, pikiran mereka tentu agar dipandang hebat dan berbakat. Lagi-lagi mereka salah kostum jalan. Dan lagi-lagi kita perlu bersabar.
Bagaimana agar pengendara tidak emosional?
Menjadi tidak emosional dalam berkendara menurut saya sangat mudah. Yaitu hanya dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Dengan cara ini, kita rasanya akan lebih bijak dalam menghadapi situasi yang tidak "baik" di jalanan. Biarpun kita lapar, capek, atau bahkan di kejar "tayang", dengan olah nafas setidaknya kita lebih mudah untuk tenang dan sabar.
Dari sinilah akan muncul sikap memaklumi. Ya, wajar saja kita semua manusia. Tentu kita sering lihat para Emak-Emak yang lampu sen-nya menandakan belok kanan, eh tapi nyatanya Emak itu belok ke kiri. Mungkin kita sendiri juga pernah seperti itu hingga ditegur dengan pengguna jalan lain. hal seperti ini jika tidak kita "maklumi" dan bersikap "pengertian" tidak akan berkesudahan. Apalagi jika berhadapan dengan Emak-Emak. Ya, namanya juga The Power of Emak-Emak. Mereka kuat dan hebat di jalanan. Hehe
Hal sederhana lainnya yang dapat kita lakukan agar tidak emosional saat berkendara adalah "senyum". Ya, dengan senyum kita tidak jadi marah, dan orang lain pula tidak jadi marah. Apalagi jika jika melambaikan tangan tanda maaf, atau melambaikan tangan seraya meminta pengendara lain berjalan duluan. Yang lebih baik, tentu saja kita mengucapkan permintaan maaf dengan senyuman.
Dengan senyuman dan kerendahan hati, para pengendara akan lebih aman dan jangan lupa bahwa dibalik senyuman ini terselip sebuah doa dan pengharapan agar para pengendara itu selamat sampai tujuan. Kita mungkin tidak sadar, namun berkat senyuman kita secara tidak langsung akan lega dan lebih berhati-hati dalam berkendara.
Antara olah nafas dan senyum, keduanya mungkin sederhana namun tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik. Lagi-lagi kita kembali butuh persiapan fisik dan mental dalam berkendara. Profesionalitas dalam berkendara juga penting, karena sejatinya para pengendara lain tidak tahu apa permasalahan kita.
Dengan demikian, selama berkendara kita bisa ikuti pesan para tetua dan polisi.
"Pelan-pelan saja, asal sampai dengan selamat".
"Jangat ngebut-ngebut! Ingat, keluarga Anda menantikan Anda sampai ke rumah dengan selamat".
Pelan bukan berarti lelet, dan jangan ngebut bukan berarti kita tidak bisa ngebut. Kedua hal ini hanya menjelaskan kepada kita agar kita bijak dan berpikir jauh ke depan dalam berkendara.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H