"Anak Sulung hatinya sekeras aspal, yang tidak akan hancur hanya dengan sekali lindasan tronton. Anak Sulung bahunya sekuat batu gunung, yang di setiap sisinya terselip harapan untuk menjadi pondasi kuat didalam keluarga."
Anda anak sulung? Agaknya tulisan ini sedikitnya akan mewakili kehidupan Anda. Memang tidak semua, dan ini tidak berlaku secara mutlak. Tapi, saya anak sulung, teman saya banyak anak sulung, dan orang-orang di sekitar banyak pula anak sulung. Sehingga, kisah dan keluh mereka dapat mewakili "beban" dan hebatnya anak sulung.
Menjadi Harapan Keluarga
Terlahir sebagai anak sulung bukanlah aib, bukanlah beban, dan bukan pula kehendak kita. Tidak ada alasan untuk berkeluh, karena apapun posisi dalam keluarga kita tetap akan melanjutkan hidup. Dalam diri anak Sulung, terpatri penantian indah dan harapan besar keluarga.
Bagaimana tidak, setelah pasangan menikah mereka akan dihadapi dengan pertanyaan "Sudah ngisi belum, sudah hamil belum?"
Semasa hamil, antusias pasangan begitu besar. Mulai dari serba hati-hati, sibuk cari nama yang bagus, dan keliling sana-sini untuk mendengar pengalaman orang yang lebih dulu makan garam.
Tidak jarang, mereka dihadapkan dengan nasihat berbau mistis dan mitos dari masyarakat. Mulai dari larangan cukur rambut, larangan mencaci, larangan menjahit, larangan bawa gunting, hingga larangan bermain dengan kucing. Alasannya pun beragam, takut anaknya sumbing, cacat, keguguran dini, hingga anaknya susah "keluar". Uniknya, hal ini dipercaya oleh pasangan yang baru nikah.
Bayangkan, sebelum lahir saja sudah begitu besar harapan keluarga terhadap anak pertama. Sehingga agak wajar jika anak pertama dimanjakan. Terserah anak itu mirip ayah atau mirip ibunya, semua keinginan anak pertama akan begitu diperhatikan oleh orang tua. Karena, pandangan yang berkembang bahwa anak pertama adalah bukti berhasil atau tidaknya didikan orang tua.
Jika anak pertama pintar, maka yang dibanggakan di masyarakat adalah orang tuanya. Kita tentu sering mendengar ucapan seperti ini: "Eh si A ini pintar sekali, anak siapa? Ohh, anaknya Ibu Y, pantesan...", "Wah si B imut sekali ya, rapi, bersih, baik, pandai sekali orang tuanya..."
Semakin "hebat" anak pertama, semakin tinggi pula pujian terhadap orang tuanya. Begitupun sebaliknya.
Kita pula sesekali sering mendengar ucapan Emak-Emak yang belanja sayuran seperti ini: "Ehh, si A nakal sekali ya, masa tadi melempar batu ke atap rumah saya! Anak siapa sih itu?.................Ohh, anak si Z, wajar saja, si Z nya kan dari awal juga gak beres!"