Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beban Si Sulung: Antara Tulang Punggung dan (Terpaksa) Telat Nikah

19 Agustus 2019   21:29 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:03 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Telat Nikah. Gambar dari Pixabay

Ujung-ujungnya orang tua yang dihinakan.

Anak Sulung Tumpuan Sukses Adik-adiknya

Kenapa orang tua susah-susah mendidik anak pertama? Ya, ini adalah salah satu alasannya. Di samping untuk meneruskan usaha dan cita-cita keluarga, anak sulung diharapkan dapat menjadi tumpuan bagi kesuksesan adik-adiknya. Pikiran orang tua cukup sederhana. Kalau saja anak sulung tidak sekolah, amburadul, tidak punya pekerjaan, bahkan berjiwa premanisme bagaimana nanti adik-adiknya akan baik?

Tapi, kalau anak sulung adalah sosok yang baik, sayang orang tua, cerdas, mau bekerja, bahkan pintar? Maka akan menjadi motivasi dan sandaran yang baik bagi adik-adik mereka. Orang tua mungkin bukanlah sarjana, tapi mereka ingin anak-anak mereka jadi sarjana. Begitu pun dengan anak sulung. Anak sulung mungkin hanya sanggup sampai jenjang S1, tapi mereka ingin adik-adiknya lebih dari itu.

Orang tua mungkin kerjanya kasar, selalu kepanasan, dan selalu kehujanan, tapi darah "pejabat" akan dialirkan kepada anak-anak mereka agar mendapat pekerjaan yang lebih baik. Begitu pun dengan anak sulung. Anak sulung mungkin hanya sanggup bekerja sebagai karyawan biasa, tapi mereka yang baik ingin adik-adiknya bisa menjadi direktur, bos, bahkan lebih.

Menjadi Tulang Punggung

Karena ingin adik-adiknya mendapat kesempatan kerja dan hidup lebih baik, anak sulung tak segan menunda bahkan mengorbankan cita-citanya. Banyak teman-teman di dekat kita, ataupun kita sendiri yang rela tidak kuliah asal adik kita bisa kuliah. Rela bekerja siang malam bahkan lembur agar adik kita bisa kuliah ditempat yang ia inginkan. Anak sulung seakan telah menjadi tulang punggung adik-adiknya.

Jika adik-adiknya sudah nyaman dengan pendidikannya, maka tujuan anak sulung selanjutnya adalah menyenangkan orang tuanya. Terang saja, ini adalah bentuk pengabdian dan bakti seorang anak, dan kesempatan terbaik adalah saat anak belum menikah. Kapan lagi seorang anak bisa memberikan sesuatu yang membahagiakan kalau tidak sekarang?

Ini adalah pesan-pesan para tetua. Kalau sudah menikah, laki-laki akan lebih perhatian kepada istrinya dan lebih sibuk dengan keluarga kecilnya. Orang tua? Ya, paling hanya sesekali. Jika pun ingin memberikan "uang jajan" itupun harus bagi rata dengan mertua, jika berat sebelah bisa-bisa jadi keributan.

Perempuan juga seperti itu. Walau ia anak sulung, tapi jika telah menikah maka telah terikat oleh suami. Orangtua? Suami dulu yang dibaktikan, barulah orang tua setelah itu. Sehingga, kesempatan untuk berbakti kepada orang tua atau sekedar untuk memberikan "uang jajan" bergantung pada persetujuan suami. Maka darinya, kesempatan terbaik adalah saat kita belum menikah.

Mulai dari kesenangan sederhana. Jika rumah belum di-cat, maka mulai menabung beli cat. Jika belum ada kulkas beli kulkas, mesin cuci, hingga kipas angin dan baju baru di hari raya. Begitupun dengan adik-adiknya. Jika belum ada tas baru, beli tas, belikan laptop, buku-buku pelajaran, printer, hingga motor. 

Bagaimana jika anak sulung belum bekerja? Tentunya ada kepanikan yang sangat besar karena harapan untuk menyenangkan orangtua alias menjadi tulang punggung menjadi "macet".

Anak Sulung dan Fenomena Telat Nikah

Keinginan yang kuat untuk menyenangkan orang tua dan adik-adik membuat banyak anak Sulung "menunda" pernikahan. Memang tidak semua, dan memang urusan takdir menikah hakikatnya tak bisa ditunda. Perihal ini kembali lagi kepada niat kita dan takdir Tuhan. Realitas yang ada di dekat saya adalah banyak anak sulung yang telat menikah jika dilihat dari sisi umur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun