Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ngomel di Medsos, Caper atau Caker?

15 Agustus 2019   20:47 Diperbarui: 15 Agustus 2019   23:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pesona digital sekarang penuh dengan  hiasan omelan di berbagai Medsos. Entah mereka sedang Cari Perhatian atau memang sengaja mau Cari Keributan."

Hari ini, Medsos menjadi kebutuhan setiap orang. Bahkan karena sangat "membutuhkan" Medsos, kebutuhan primer menjadi terpinggirkan. Misalkan dengan menunda makan untuk pergi ke konter pulsa, menunda tidur hanya untuk sekedar lihat snap/story orang, hingga tahan tidak pulang ke rumah hanya untuk cari background dan destinasi foto agar bisa update status dan ganti DP/profil di Medsos.

Oleh sebab itu, smartphone sebagai media utama Medsos selalu tersedia di kantong tiap orang. Uppps, jangan katakan tidak, bukan saya, atau malahan menuduh orang lain ya! hehe. Bahkan charger dan powerbank pun ikut dibawa. Takut nanti tiba-tiba baterai Low dan tidak bisa melihat tulisan "sedang aktif" orang lagi.

Saat tidurpun demikian, tidak bisa jauh dari Medsos. Buktinya, banyak dari kita yang menyelipkan HP dibawah bantal maupun didekat kepala. Alasannya biar alarm terdengar, biar cepat membalas chat teman, atau biar mudah jadi alat penerang saat mati lampu. Sungguh, itulah namanya cari-cari alasan. Padahal dahulunya, dibawah bantal biasanya diselipkan buku pelajaran, atau surat cinta dari seseorang. Surat cinta? Eaaaa.

Caper: Cari Perhatian di Medsos

Semakin dekat kita dengan Medsos maka semakin panjanglah masa "online" kita di dunia maya ini. Bisa 5 jam, 10 jam, 20 jam, bahkan hampir setiap saat "online". Kewajiban tidur hanya dijadikan selingan saja. Setiap kali kita ingin tidur dan kemudian menatap HP, rasa kantuk akan hilang seketika. Akhirnya? Ya, pastinya buat snap/story "tidak bisa tidur", "insomnia", "kesepian", "butuh teman curhat, chat", dan sejenisnya. Padahal tidur itu hanya tinggal memejamkan mata, gampang kan?

Seringnya buat snap/story akan mengundang kebahagiaan tersendiri. Apalagi jika sudah "di lihat" ratusan orang, di komentari "positif", atau mendapat hingga ribuan like dan comment. Karena sudah merasa sangat "dekat" dengan Medsos, akhirnya banyak dari kita yang mengumbar kehidupan pribadi, bahkan setiap saat.

Mulai dari aktivitas rumah, pekerjaan, hingga opini dan umpatan pun ikut terposting. Memang, sebagian dari kita adapula yang memanfaatkan Medsos sebagai lahan jualan dan testimoni produk. Tapi lagi-lagi lebih banyak postingan kehidupan, kegiatan sehari-hari dan fenomena "perasaan", daripada jualan.

Ini agaknya adalah bentuk dari "Cari Perhatian" di Medsos. Terang saja, dengan membuat snap/story dan mendapat banyak tanggapan publik, kita akan sedikit "sibuk" dengan HP. Makanya, pada setiap waktu luang banyak dari kita yang mengutak-atik HP walau sesaat, walau hanya cek story sendiri maupun update story teman. Ya, mungkin cara untuk mengusik kesepian karena tidak mendapat perhatian.

Caker: Cari Keributan di Medsos

Opini di Medsos sungguh banyak dan berserakan setiap detiknya. Coba saja kita periksa dan usap lama Facebook setiap 1 menit saja. Di Beranda Facebook akan muncul banyak story/snap baru dari teman maya kita. mulai dari status percintaan, gombalan, berbagi kenangan, foto-foto editing, serta aktivitas siaran langsung.

Mirisnya, banyak pula status/story yang sifatnya "mengumpat, mencela, mengumbar aib, fitnah, kekejian" bahkan hoaxs. Mulai dari nama-nama "hewan", nama-nama kotoran, "plesetan" foto publik, hingga alat vital manusia pun dijadikan bahan untuk mencaci. Sungguh  tidak pantas! Uniknya, jumlah like, tanggapan, dan comment-nya begitu banyak. Kadang pula, update status ini tidak kunjung berhenti jika tanggapan terus berdatangan.

Misalnya, Si X update status menyindir tentang keburukan Si Z. Keduanya menjalin pertemanan di Facebook. Karena takut viral, maka sindiran Si X tidak menyebut langsung nama Si Z, tapi Si Z sangat peka dengan sindiran itu. Lalu dengan sendirinya Si Z akan membalas cacian Si X melalui status barunya, dan itupun juga dengan sindiran tidak langsung.

Hebatnya, kegiatan saling sindir ini akan terus-menerus berjalan seperti tiada akhir. Jujur saja, sindiran seperti ini lebih menyakitkan daripada sekedar tamparan maupun sabetan pedang. Apakah ini bukan Cari Keributan?

Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Sampai sekarang, opini-opini dan status "keterlaluan" seperti ini sangat leluasa beredar di dunia maya. Meskipun ada aturan jelas tentang ujaran kebencian melalui UU ITE, tapi tampaknya omelan CaKer ini tak ter-filterisasi oleh Kominfo maupun KPI. Mereka rasanya hanya cepat tanggap terhadap opini publik yang merugikan nama-nama orang dan instansi "Tingkat Atas" saja. Padahal, keutuhan dan keharmonisan sesama manusia juga merupakan aspek fundamental di negara ini.

Jika berbicara soal tanggung jawab maka semuanya bisa dikembalikan ke diri kita masing-masing terlebih dahulu. Baik di sekolah, masyarakat, maupun di lingkungan keluarga sekalipun kita tentu diajarkan tentang moral, adab, akhlak, atau sopan santun dalam berbicara. Karena pelajaran itulah kita bisa mengerti bagaimana rasa tidak enak dan sakitnya "tersinggung".

Islam juga mengatur dengan  tegas terkait perihal ini. Adalah  hadis Rasulullah yang berbunyi "Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran." Hadis Riwayat Bukhari & Muslim. Dalam lansiran dakwah.id Syaikh asy-Syinqiti mendetailkan, "Itu menunjukkan bahwa kedua tindakan tersebut adalah bagian dari dosa besar."
Sungguh, mencela dan berkata tidak pantas selain Cari Keributan juga membuat kita mendapat dosa besar.

Bisa kita bayangkan besarnya dosa itu. Misalnya, kita membuat 1 omelan berupa celaan di Medsos dan mendapat 500 like serta 300 komentar. Berarti sebanyak itulah hitungan awal dosa kita. Dan jangan lupa, selama omelan "kotor" itu masih terpampang di Medsos selama itulah dosa kita bertambah, walau kita telah mati sekalipun. Ya, itulah yang di sebut Ustadz Abdul Somad sebagai Dosa Jariyah. Nauzubillah.

Semoga kita senantiasa dijauhkan dari dosa besar dari kata-kata kotor. Aamiin.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun