Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Plesetan" Serial Azab, Keluhan atau Lelucon?

14 Agustus 2019   15:08 Diperbarui: 14 Agustus 2019   22:33 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu "plesetan" serial azab. Gambar dari Brilio.net

Azab Jadi Bahan Lelucon
Tak menutup-nutupi fakta terkini bahwa banyak sekali serial "azab" yang dijadikan lelucon oleh para netizen. Hebatnya, peran utama adalah mereka yang rata-rata usia pelajar serta akrab dengan smartphone. Bagaimana tidak, mereka yang sebagian besar "candu" jelajah dunia maya akan sangat mudah untuk editing foto, manipulasi foto, video, bahkan judul-judul film.

Tujuan di usia mereka sungguh jelas. Kalau tidak untuk mencela teman sesamanya, ya untuk buat lawan jenis baper. Intinya adalah cari perhatian dan ingin mem-viralkan diri. Susah-susah edit foto dan snap hanya untuk mendapatkan banyak like, comment, and share.

Akibatnya, orang tua dan guru tidak lagi dapat menakuti anak-anak dengan siksa "keakhiratan", azab, dan neraka. Karena kenapa? Karena mereka sudah menganggap perihal azab sebagai lelucon dan hiburan untuk mendapatkan tawa. Jangan-jangan, kita nanti kita nasehati tentang azab kubur, mereka malah balik menasehati kita dengan lelucon!

"Plesetan" adalah Wujud Keluhan Publik
Secara tidak langsung, sesungguhnya fenomena ini menusuk KPI dari belakang. Ya, sungguh menusuk dengan tajam dan dalam. Sederhananya, mereka yang mengawasi tayangan informasi dan hiburan di televisi sudah lalai dan tak serius. Buktinya, makin banyak kekerasan dan penyimpangan yang terjadi akibat menonton tayangan yang tak layak tonton.

Sebut saja seperti mendzalimi teman dengan Prank, kekerasan seksual, hingga durhaka kepada orang tua. Alasannya tentu saja karena mereka para pelaku sudah tidak takut dengan "Tuhan" dan hari "esok". Bagaimana mereka bisa takut jika "Tuhan" dan  hari "esok" adalah sebuah lelucon?

Patut kita simpulkan bahwa fenomena ini adalah wujud dari keluhan publik. Sayangnya keluhan ini tidak langsung "deduktif" dan berteriak kepada KPI di depan muka mereka. Melainkan dengan perubahan tingkah laku konsumen akibat tayangan dan tontonan yang negatif.

Cepat dan secepatnya, KPI mesti ambil tindakan. Terserah jika mau upgrade peraturan dan kebijakan baru. Yang jelas, para pengamat perilaku butuh "perubahan" tindakan yang nyata dan terasa. Lagi-lagi bukan hanya sekedar pengawasan dan koordinasi, melainkan tindakan menuntaskan fenomena secara tepat sasaran dan tuntas.

Salam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun