Seluruh kota mereka praktis merupakan tempat pembuangan raksasa dan menyediakan hampir semua yang mereka butuhkan: mulai dari mainan anak-anak hingga makanan ternak.
Bahkan babi mereka memainkan peran penting dalam daur ulang limbah makanan. Yang terpenting dari semuanya, tempat pembuangan itu menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat Zabbaleen.
Sungguh, mereka lebih baik daripada para pengemis jalanan yang hanya bisa meminta. Dengan sampah, mereka begitu mandiri dan dapat menyekolahkan anak-anak mereka.
Bolehlah sesekali kita berandai memiliki banyak komunitas para Zabballen di Indonesia. Bayangkan jika 1 desa ada 50-100 orang Zabballen, maka akan bersihlah desa itu.
Bukan hanya bersih, melainkan sehat, mandiri, dan maju. Sayangnya, banyak dari kita yang malu buang sampah pada tempatnya. Jangankan sampah kotor, bungkus permen saja seringkali berat tangan untuk mengambilnya. Huufh
Makin banyak baliho serta papan peringatan yang dipasang di tempat-tempat rawan sampah, makin banyak pula sampah yang  bertumpuk disana.
Kadang, tulisan-tulisan ancaman besar yang jelas-jelas terpampang besar dipapan tersebut diabaikan oleh perusak alam ini. Entahlah!
Apakah mereka tidak bisa baca? Tidak bisa melihat? Atau tidak punya hati? Atau berpura-pura tidak tahu? Dasar! Memiriskan hati saja.
Kadang, iri kita dengan kucing yang mau membuang "sampah". Para kucing saja diam-diam mencari tempat strategis untuk membuangnya dan tidak lupa menguburkan "sampah" mereka.
Pertama karena malu. Kedua karena tidak mau merusak alam, dan ketiga karena tidak mau menyusahkan makhluk lain.
Ya, itulah bijaknya kucing yang tidak perlu melulu harus disosialisasikan oleh dinas lingkungan hidup atau pakar-pakar cinta lingkungan lainnya.