Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Milenial Melahirkan Generasi A3

6 Agustus 2019   06:39 Diperbarui: 6 Agustus 2019   06:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi milenial. Gambar dari Perspectivee.id

Milenial di rundung duka Apatis, Antipati, dan Antisosial (A3)

Jikalau soal berita yang viral dan menjadi trending topik, milenial rasanya menjadi orang-orang yang update. Bagaimana tidak, mereka seakan telah mendigitalisasikan otak dengan kecintaan terhadap smartphone. Mirisnya, berita-berita terbaru seputar dunia ini beberapa kali sering di plesetkan dalam bentuk meme atau quotes-quotes yang mengundang tawa, sinis, maupun kebencian.

Selama tidak keluar "area" norma sih tidak masalah. Namun, tidak sedikit kita temukan konten-konten negatif yang dirakit sedemikian rupa untuk menghasilkan berbagai penyimpangan norma dalam bentuk ujaran kebencian. Mereka masa bodoh dengan "ketersinggungan" dan "fitnah" dari tokoh utama berita. Mereka seakan tidak peduli dengan dampak yang ditimbulkan akibat penyelewengan "berita.

Akhirnya, milenial beberapa kali tertangkap tangan menyebar ujaran kebencian, hoaxs, dan celaan. Dan uniknya lagi, berita tertangkap tangan itu pula bisa jadi viral jika di manipulasi kaum milenial, hanya untuk mendapatkan like maupun subscribe Entah apa yang salah dari diri mereka.

Apatis 

Dalam KBBI, apatis direkatkan pada sikap acuh tidak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh. Ketiga pengertian ini mengandung makna bahwa orang yang apatis telah membuat dirinya tidak peka dengan keadaan sekitar. Entah wajar atau sengaja dibuat-buat.

Generasi milenial diklaim telah melahirkan orang-orang  apatis. Terang saja, semakin kesini sikap beberapa orang semakin bobrok. Lihat saja pada kasus kecelakaan misalnya. Beberapa saat setelah kecelakaan sering kita temukan banyak video story di media sosial, serta siaran langsung dari peristiwa tersebut.

Tidak jarang pula kita temukan banyak kata-kata lebay dan ironi-ironi yang memiriskan hati. Ingin rasanya mereka kita teriaki "orang kecelakaan itu di tolong, bukannya diviralkan! Orang kecelakaan itu didoakan, bukannya dihujat-hujat karena kekeliruan mereka!". Yang membuat kita semakin mengelus dada dan mengerutkan kening adalah banyaknya komentator dengan nada rasis, cela, dan kata-kata kotor.

Ini sungguh menyakitkan. Disaat mereka bersikap tidak peduli dan masa bodoh, mereka senantiasa menyakiti hati banyak orang yang sensitif. Begitupun dengan keadaan lainnya seperti kasus berita pemerintahan, sosial, edukasi, dan segala aspeknya. Kita tidak menyurut lupa akan banyaknya hinaan dimasa pemilu kemarin. Apakah itu milenial? Apatis boleh, tapi jangan merusak!

Antipati

Sejatinya, banyak orang di negeri ini yang punya rasa kasih sayang, empati, dan simpati yang kuat. Ini dibuktikan dengan banyaknya organisasi-organisasi bidang sosial yang diikuti anak muda milenial. Tapi terang saja, banyak pula generasi antipater, alias antipati yang lahir dan membahana.

Perilakunya macam-macam, mulai dari efek kesenjangan orang kota dan desa, penobatan kalimat yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, hingga hanya sekedar nge-like postingan duka tanpa diringi bantuan dan doa. Wajar saja semakin hancur negara ini.

Jika kita lihat aspek pendidikan, saat ini begitu mudah didapat. Beda dengan kita dahulu yang mesti berkelahi dengan penjajah untuk bisa sekolah, bekerja mati-matian dan bertangiskan darah demi untuk beli buku, dan juga berkali-kali demo untuk mewujudkan pendidikan yang adil, beradab, dan mensejahterakan.

Lebih lanjut, perilaku antipati akan membuat kaum milenial semakin terpecah dan tidak beradab. Semakin berbahaya jika mereka punya komunitas dan keturunan dengan perilaku semacam itu. Apa jadinya negeri ini!

Antisosial

Penisbatan antisosial sangat tepat untuk kaum milenial. Bukan semata-mata menyudutkan milenial ke arah "negatif", tetapi memang keadaannya yang mengarah ke sana. Contoh sederhana saja, belanja online. Sikap "tidak mau ribet" kaum milenial agaknya sangat didukung dengan teknologi serba digital saat ini. Mau beli pulsa, tinggal order ditoko online atau transfer sendiri. Mau beli baju tingga order di toko online. Mau beli makan juga tinggal order ojek-online.

Secara rasionalis, memang lebih efektif, efisien, cepat, memudahkan, dan tidak ribet. Namun jika dipandang secara sosialis, perilaku ini lama-kelamaan akan menggerogoti tali silaturahmi. Termasuk juga dimasyarakat, mereka akan menjadi tipe kaum individualistik. Memang tidak mengapa sesekali punya jiwa individual, tapi secara hakikat manusia itu dilahirkan sebagai makhluk sosial yang butuh dan saling membutuhkan satu sama lain.

Pergaulan nyata, sekarang memang terkesan tradisional dan konvensional. Tetapi perilaku inilah yang bisa meruntuhkan sikap antisosial. Kita harus bina lagi pemikiran dan mindset kaum milenial, salah satunya dengan sikap berikut ini:

Ajak Milenial Meet Up

Generasi A3 harusnya sering meet up dan terlibat dalam berbagai kegiatan di negeri ini. Entah itu kegiatan sosial, edukasi, ekonomi, ataupun kegiatan cinta tanah air, mereka harus dilibatkan. 

Dan jika perlu, jadikan mereka tokoh atau peran utama didalamnya. Tentu saja kegiatan ini harus berupa temu langsung antara orang yang satu dengan yang lain.

Dengan seringnya bertemu, akan ada rasa saling mengenal, saling memahami, serta saling mencintai. Perilaku ini baik untuk mengurangi perselisihan diantara generasi milenial. 

Jika istiqomah, adanya meet up yang bermaslahat akan mengikis sedikit demi sedikit sikap A3. Secara bertahap, hati mereka akan tersentuh dan lunak. Hebatnya, mereka akan saling memahami dan hidup rukun.

Bekali Ilmu Sosial Para Calon Milenial

Cara "kampungan" sebenarnya cukup efektif untuk membekali ilmu sosial kepada anak-anak kita. Jangan melulu dikasih sahabat dunia maya berupa android dan Youtube. 

Perlu kita berikan teman sebaya, kakek, nenek, serta tetangga dekat rumah. Ajak mereka untuk sering bertamu kerumah tetangga dan kerabat. Ajak mereka untuk berkenalan dan bertutur kata baik dengan mereka.  Di waktu luang, "paksakan" mereka tebar senyum dan bertegur sapa dengan semua orang yang lewat.

Bukannya sok perhatian dan SKSD (sok kenal sok dekat), tetapi untuk mengenalkan anak tentang bagaimana caranya hidup dimasyarakat. 

Agar nanti menjelang dewasa, mereka tidak sulit berhubungan dan berkomunikasi dengan orang baru. Sikap introvert sesekali perlu, tetapi pada hal-hal pribadi dan menyangkut diri sendiri saja.

Sungguh, jiwa generasi milenial harus dibina sejak dini. Tidak perlu kita ubah paksa tampilannya, tapi kita ubahlah mindsetnya. Dan cara mengubahnya adalah dengan pembiasaan bukan dengan paksaan.

Bagaimana membiasakan? Tentu saja dengan tauladan. Ending-nya, kita mulai dari diri kita sendiri. Semakin hari semakin profesional, semakin hari semakin baik, dan semakin hari semakin beradab.

Salam.

Bengkulu, 06 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun