Hari-hari dijalani dengan mengikuti "formalitas" saja. Nilai tidak jelek-jelek amat, meskipun bukan jurusan yang saya cintai. Kerelaan hati datang setelah memasuki semester dua. Saat itu saya dipusingkan dengan biaya SPP. Memang tidak besar bagi sebagian orang, hanya Rp. 800.000. tapi apalah daya keluarga yang cukup ini. Mirisnya, ibu saya sampai jual anting emasnya demi saya melanjutkan kuliah.
Dari sini, lahirlah kesadaran dan kerelaan. Seiring berjalan waktu, saya mulai berlagak "dewasa" menerima kenyataan. Kuliah mulai diikuti dengan serius dan semangat. Beberapa kali mendapat beasiswa membuat saya mulai mencintai jurusan PAI ini. Dan alhasil, beberapa dosen mengapresiasi cara mengajar saya. Mereka berpendapat bahwa cara mengajar saya kreatif, inovatif, dan berkemajuan. Dan endingnya, saya tamat dengan predikat wisudawan terbaik. Alhamdulillah.
Perjalanan menggapai cita belumlah usai, karena sejatinya cita-cita saya adalah menjadi dosen. Mulai dari merantau ke luar provinsi dan "menyebrang" profesi kerja sebagai kontraktor perusahaan demi untuk melanjutkan pendidikan magister, akhirnya saya pulang kampung dan menjadi guru honorer di SMP Negeri. Memang, takdirlah yang menuntun saya untuk menjadi seorang guru.
Obsesi diri Guru Muda
Biarpun gaji tidak seberapa, niat untuk jadi dosen tidak pernah sedikitpun luntur dari hati guru muda. Terbukti, tahun lalu saya nekat melanjutkan pendidikan ke tingkat magister. Wajar saja. Jiwa muda ambisinya besar. Darah muda yang mengalir deras ini selalu ingin bermuara ke "sukses dan gapai mimpi".
Hiruk pikuk dan dorongan untuk segera "menikah" tidak begitu menyurutkan saya. Memang pernah waktu itu tergoda dengan seseorang yang tingkahnya sudah siap "menikah" dengan saya, tanpa harus menunggu mapan. Sejenak, sayapun berpikir pendek segera ingin menikah meskipun tabungan belum ada. Hanya niat saja. Tapi apalah daya jika bukan takdir. Ternyata Tuhan menjadikan dia sebagai "tamu" yang numpang lewat dikehidupan saya.
Profesi guru, semakin hari semakin saya naksir. Bagaimana tidak, melihat wajah-wajah siswa yang antusias begitu menggerakkan hati. Melihat mereka berprestasi rasanya sungguh bangga. Dan melihat mereka mengerti tentang apa yang kita jelaskan, sungguh lega. Jujur saja, itulah nikmat terbesar seorang guru.
Sejatinya, semakin banyak ujian yang kita lewati semakin kuatlah kita. Meski banyak dorongan dan tekanan untuk merasa "cukup", bekal cita-cita tinggi di masa SD selalu menjadi dorongan untuk optimis. Entah mengapa. Mungkin karena mencintai profesi, mungkin karena jadi harapan banyak orang, atau mungkin bentuk pembalasan dendam cita-cita yang tidak tercapai dulu. Terserah!
Pesan terbaik adalah cinta dengan profesi guru dan jangan putus mengejar cita. Agar nanti menjadi balada yang indah diujung hayat.
Salam Bersemangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H