Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Mewanitakan Wanita, Kodrati, dan "Mahal"

20 Juli 2019   22:45 Diperbarui: 20 Juli 2019   23:02 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wanita (canva.com)

Jika wanita bisa memasak, itu biasa. Tapi jika laki-laki yang bisa memasak, jadi luar biasa. Wanita mengerjakan pekerjaan rumah itu biasa. Tapi jika laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah, jadi luar biasa. 

Wanita bekerja/berkarir dipandang luar biasa. Laki-laki bekerja/berkarir biasa saja. Wanita berpendidikan tinggi (sarjana, S2, S3) dianggap luar biasa, sedangkan laki-laki dianggap biasa. Lalu, apakah kodrat wanita hanya memasak, mengerjakan pekerjaan rumah, serta tidak perlu bekerja atau berpendidikan? Dan, apakah wanita jika bekerja dan berpendidikan tinggi bisa dikatakan melanggar kodratnya sendiri? Mari kita luruskan!

Sejenak, kita pahami dulu seperti apa kodrat itu. Kodrat wanita jika kita runut dari KBBI memiliki 2 arti yaitu, kekuasaan dan kemampuan alami. Hal ini bisa dilihat dari aspek fisik, emosional, dan general. 

Secara fisik, bentuk fisik wanita berbeda dengan laki-laki. Itulah kodrat wanita. Jika diubah, maka melanggar takdir dan kodratnya. Dalam agama, perubahan itu tidak akan berpengaruh dengan penilaian Tuhan, karena bukan fisik yang dilihat, tapi hati. Kemudian secara alami, wanita memasak, mencuci pakaian, mengerjakan pekerjaan rumah, bersikap lemah lembut, mengasuh, dan mendidik anak adalah kodrat wanita.

Lalu, bagaimana dengan wanita yang berpendidikan tinggi dan berkarir, apakah itu melanggar kodrat karena dinilai tidak biasa? Jawabannya adalah tidak.

Setiap manusia yang lahir didunia memiliki potensi yang sama untuk berkembang, baik laki-laki maupun wanita. Ini adalah sisi general dari kodrat. Wanita punya akal, perasaan, dan potensi. 

Begitupun laki-laki. Dalam hak asasi, tidak ada kekhususan bahwa laki-laki harus lebih tinggi pendidikannya dari wanita, atau laki-laki harus lebih tinggi pekerjaannya dari wanita. Jadi, wanita berhak memiliki pekerjaan dan pendidikan yang layak.

Sederhana saja, jika wanita tidak berpendidikan, bagaimana bisa dia mendidik anak-anaknya menjadi pintar! Biarpun anak itu mempunyai potensi IQ superior, kalau tidak dipoles hanya akan menjadi emas karatan.

 Lihatnya anak-anak jalanan, asal usul mereka macam-macam. Ada yang kabur dari rumah karena perceraian orang tua,ada anak dari hasil perbuatan "haram", dan tidak sedikit anak-anak buangan dari orang tua yang menikah dini. Semua itu jelas kesalahan orang tua. Dan aspek yang fundamental adalah pendidikan. Jadi masih mau beropini bahwa wanita tidak perlu berpendidikan tinggi?

Sejenak kita perhatikan sebuah penelitian dari independet.co.uk:

Genetika seorang ibu menentukan seberapa pintar anak-anaknya, menurut para peneliti, dan sang ayah tidak membuat perbedaan. Wanita lebih mungkin untuk menularkan gen kecerdasan kepada anak-anak mereka karena mereka dibawa pada kromosom X dan wanita memiliki dua gen ini, sedangkan pria hanya memiliki satu.

Tanpa mendiskriminasikan laki-laki, ternyata kepintaran anak itu diwariskan dari ibu, alias wanita. Wajar saja, jika kita hitung secara matematis gabungan gen ayah dan ibu itu 2 berbanding 1. 

Artinya, wanita/ibu menularkan 60-70% peluang kecerdasan kepada anak, dan sisanya dari ayah. Tidak cukup sampai disitu, mewanitakan wanita dengan pendidikan itu juga penting terutama ketika seorang wanita telah memiliki anak. 

Wanita harus memiliki ilmu psikologi perkembangan dalam mendidik anak. Mulai dari pendekatannya, pola asuhnya, pola pendidikannya, hingga mengupayakan ketercapaian tugas-tugas perkembangan anak sesuai tingkat umur.

Meski secara teoritis demikian, wanita yang berpendidikan tinggi dianggap memiliki derajat lebih tinggi, sehingga dimata masyarakat lebih "mahal" nilainya. Karena "mahal" inilah, beberapa orang tua seakan menjadikan anak wanitanya bahan "lelang" dengan mematok harga tinggi kepada pelamarnya. Terang saja, sebagian laki-laki menjadi minder karena perbedaan derajat ini. 

Misalnya saja, laki-laki tamatan sarjana dan wanitanya tamatan magister, itupun sudah ada kecenderungan "gengsi", apalagi jika pekerjaan si wanita dianggap lebih mapan dari laki-laki. 

Maka dari itu, tidak sedikit laki-laki memilih mundur dan memutuskan perjuangan cintanya. Padahal, gelar maupun pekerjaan tidak menjamin kehidupan seseorang bahagia dan sejahtera. Lagi-lagi kembali kepada perspektif masyarakat.

Polemik ini seakan tidak bisa diubah, karena mulai mengakar di sebagian besar kalangan masyarakat. Demikianlah adanya, tetap kita ambil hikmah bahwa meskipun secara kodrati laki-laki dianggap lebih "tinggi" dari perempuan, pendidikan tetap menjadi hak asasi manusia.

Memanusiakan manusia bukan berarti memberikan pendidikan lebih dan khusus hanya untuk laki-laki saja, melainkan juga untuk mewanitakan wanita. Semua itu bertujuan untuk menciptakan manusia ideal, sesuai dengan harapan bangsa, negara, dan orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun