Mohon tunggu...
Ozzi Traveler
Ozzi Traveler Mohon Tunggu... Jurnalis - manusia biasa suka jalan-jalan

Jurnalis, Penulis, Traveler

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Permainkan Konstitusi Lewat Omnibus Law

27 Oktober 2020   17:27 Diperbarui: 27 Oktober 2020   17:38 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sampai pada jumlah halaman yang berbeda-beda di tiap versi yang beredar ke publik, Draf final Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja perlu dikaji oleh para pakar hukum tata negara kita. Kenapa?

UU Cipta kerja masih jadi sorotan mata publik. Meski pihak Istana telah buka suara terhadap beredarnya versi draf final UU Ciptaker memiliki jumlah halaman berbeda-beda, hingga beberapa pasal hilang dan terjadi perubahan pada Undang-undang sapu jagat tersebut.  

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis dalam artikelnya di Republika online menulis betapa bobroknya prosedur UU Ciptakerja yang lembaran kertasnya kerap berubah-berubah. Mempermainkan konstitusi tengah berlangsung, namun dibiarkan tanpa ada proses lanjutan ke ranah hukum.

"Tipis saja halaman RUU Omnibus Cipta Kerja saat disetujui bersama DPR-Presiden menjadi UU. Namun, ratusan lembar kertas itu segera berubah, bertambah menjadi lebih banyak setelah hal-hal teknis pengetikan dibereskan oleh Baleg DPR. Hebatnya, begitu diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan, lembaran-lembaran kertas itu malah berkurang lagi," tulis awal paragraph pada artikel berjudul "Konsekuensi Perubahan Dua Pasal UU Omnibus Cipta Kerja"

Pasal yang hilang dan Berubah

Hal menarik lainya yang menurut saya cukup mengagetkan kita semua adalah di saat pihak Istana Kepresidenan mengakui dihapusnya satu pasal dalam naskah 'final' yang diserahkan DPR kepada Kementerian Sekretriat Negara.

Loh, kok bisa seperti itu mekanismenya?

Naskah UU Cipta Kerja yang disahkan saat Sidang Paripurna 5 Oktober lalu terdapat pasal yang hilang. Padahal satu pasal saja berubah akan jadi tanda tanya besar oleh masyarakat. Apalagi pasal yang hilang tersebut paling penting mengenai Energi dan Sumber Daya Mineral. Pasal 46 pada paragraph ke enam yang hilang tersebut tidak menimbulkan akibat hukum?

Lalu, bila demikian siapa yang paling bertanggung jawab?

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membenarkan, Kemensesneg mengajukan perbaikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.

Pasal 46 yang sebelumnya berisi empat ayat kemudian ditambahkan satu ayat lagi untuk mengakomodasi keinginan pemerintah. Namun, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sehingga diputuskan kembali ke UU existing.

Hanya satu pasal itukah yang berubah?

Jawabnya tidak!

Selain pasal 46 yang hilang, terdapat beberapa pasal lainnya yang berubah. Antara lainya pada pasal 50. Pasal 50 angka 7 dimana pada Pasal 42 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang berbunyi "... keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d diatur dalam Peraturan Pemerintah".

Sampai di sini banyak prosedur dilabrak alias tidak lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Permasalahan ini menimbulkan lelucon konstitusi bagaikan dagelan di tivi-tivi.

Wakil-wakil rakyat yang duduk manis di Gedung Senayan tersebut seperti tak ada masalah saja ketika jumlah kertas, jumlah halaman, tebal dan tipisnya naskah UU Omnibus Cipta Kerja diubah-ubah tanpa melalui prosedur yang benar. Tampak terjadi miss tugas dan pokok dari masing-masing lembaga yang ada di Senayan tersebut.


Tentu kita bertanya-tanya, apakah Badan Legislasi di DPR memiliki kewenangan untuk mengubah Pasal terhadap UU yang akan disahkan?

Pada teori ketatanegaraan hal seperti ini disebut Margarito sebagai metode Walter Lippman dan Edward Bernay. Lippman, otak konsep serta praktik opini publik. Cara pandang seperti ini tidak lebih dari metode mengakali, dalam makna menginjak-injak konstitusi. Disebut begitu, karena tindakan ini meletakan tujuan sebagai fundasi konstitusionalnya. Tujuan membenarkan cara, bukan cara membenarkan tujuan. Ini khas machiavelis.

Bila ini dibiarkan, akan seperti apa cermin wajah legislative di Negara Indonesia oleh Negara di luar sana? Yang pasti konstitusi sudah dipermainkan. Tinggal kita tonton saja dagelan ini seperti apa endingnya kala UU Cipta Kerja sudah diundangkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun