Nama Puan Maharani jadi trending topik beberapa hari belakangan ini. Sebabnya, putri dari Megawati Soekerno Putri ini jadi bulan-bulanan atas ucapannya yang telah menyinggung perasaan warga Sumatera Barat khususnya suku Minang. Karena provinsi Sumatera Barat disebut tidak Pancasilais.
Sontak saja masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip 'Adat Basandi Syarak, syarak basandi kitabulah' itu merasa terganggu atas ucapan Puan.
Tentu keseleo lidah ini sangat memperburuk keadaan posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP di tanah Minang tersebut. Loh kok bisa?
Bila dilihat dari sejarah, Puan memiliki keturunan darah Minang. Dilihat dari asal usul neneknya Fatmawati yang juga istri dari mantan Presiden Republik ke 1, Soekarno.Â
Bila diskenariokan, Puan Maharani adalah anak rang Sikumbang, kamanakan rang Malayu. Beliau adalah Anak Kamanakan Rang Minangkabau. Hal ini yang jadi permasalahan bagi rakyat Minang karena selaku pejabat sekaligus politisi Minang tidak elok menjelekan kampung halaman sendiri.
Apa uni Puan lupa? Entahlah, yang pasti ucapannya sangat tidak menggambarkan seorang pancasilais yang telah digembor-gemborkan Presiden Joko Widodo saat pemilu Presiden 2019 lalu.
Dilihat dari sejarah, PDIP sangat susah untuk diterima warga Minang. Bahkan ditentang mentah-mentah oleh para cendekiawan serta tokoh setempat. Tak hanya sekarang saja, rupanya sudah lama terjadi warga Minang tidak bisa menerima PDIP untuk besar di Sumatera Barat. Wajar saja bila PDIP selalu kalah saat ikut kontestasi pemilihan calon legislative, Pilkada dan Presiden. Terlebih di Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Terlepas dari faktor ideologi. Seperti isu agama maupun Pancasila.
Sejarah masa lalu masih mengikis hati rakyat Sumatera Barat. Sejarah yang hingga kini masih menyisakan duka yang sangat dalam!
Duka ini berawal dari perang saudara yang pernah terjadi di masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau yang dikenal PRRI di tahun 1950. Berlanjut hingga PDIP yang memang susah untuk menang di pesta demokrasi lima tahunan.
Untuk uni Puan ketahui, di Sumatera Barat sendiri banyak melahirkan pahlawan pejuang kemerdekaan saat melawan penjajah. Sebut saja H. Agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Moh Hatta, M Natsir dan masih banyak lainya. Termasuk nenek uni Puan sendiri, yang ambil andil menjahit bendera pertama NKRI setelah berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah.
Sebelum peristiwa PRRI, hubungan Soekarno dengan Minangkabau sangatlah dekat. Pasalnya berjuang bersama dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan yang menjadi Wakil Presiden pertama yang mendampingi Soekarno yaitu Mohamad Hatta. Semua berubah dikarenakn Soekarno mengerahkan kekuatan militer di tanah Minang.
Perjalanan tidak harmonis berlanjut setelah Partai Golkar berhasil rebut hati masyarakat Minangkabau di pemilu 1955 hingga Pileg 1999 dan 2004 . Partai Demokrat ikut disenangi masyarakat Minang di saat pemilu 2009 hingga 2014 lalu beralih ke Partai Gerindra hingga sekarang ini.
Sebagai partai baru, Gerindra mampu curi perhatian masyarakat Minang karena janji-janji manis sang Ketua Umum Prabowo saat ikut berkontes di Pilpres 2014. Namun gagal karena kalah suara dari pulau lainya yang cenderung kepada PDIP yang kala itu peserta yang diusung mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo bersama Jusuf Kalla.
Bicara kedekatan masyarakat Minang Kabau dengan Partai Demokrat sangat menarik untuk diulas. Sebab, Presiden ke 6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhyono atau SBY terlebih dulu membangun infrastruktur di daerah Sumatera Barat. Salah satunya jembatan terpanjang Kelok Sembilan. Jalan penghubung Sumatera Barat dengan Riau.
Jadi apa yang dikatakan Puan Mahari soal Provinsi Sumatera Barat tidak Pancasilais sangatlah salah. Â Sebagaimana ungkapan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono pada artikel berjudul "Memerdekakan Negeri dari Krisis Pandemi" di perayaan HUT RI ke 75 lalu pahlawan asal Minangkabau sangat banyak membantu Republik Indonesia untuk menang dari penjajah.
Sebagaimana pesan Tan Malaka, "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda". Hal ini sangat fundamental, karena akurasi dan efektivitas setiap kebijakan publik dan eksekusinya di tingkat lapangan, akan sangat berarti dan menentukan bagaimana arah nasib bangsa Indonesia ke depan.
Jadi sebagai pejabat Negara dan politisi jangan asal berucap menyinggung perasaan rakyat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H