Mohon tunggu...
Ozora Noor
Ozora Noor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Belanda Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa sastra yang demen nulis dan mengabadikan sudut pandang melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Membongkar Dalang di Balik Praktik Pedagangan Budak di Batavia (Abad XVII-XVIII)

29 Desember 2021   00:51 Diperbarui: 29 Desember 2021   01:07 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelang budak di Batavia sekitar 1800. Sumber: Sejarah Modern Awal Asia Tenggara karya Anthony Reid. (Dipublish historia.id)

Narasi umum tentang jejak kolonialisme Belanda di Indonesia tidak jauh-jauh dari perdagangan rempah, tanam paksa, dan serangkaian kisah tentang Si penjajah dan Si terjajah. Namun masih kurang familiar di telinga kita tentang perdagangan budak di era kolonialisme Belanda. 

Kisah Batavia sebagai pusat perdagangan budak di Nusantara dimulai ketika pada tahun 1619, gubernur jenderal VOC kala itu, J.P. Coen berhasil  merebut Jayakarta dari tangan Kesultanan Banten dan merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.  

Di balik pesatnya kota Batavia yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan rempah dan komoditas dagang lainnya, terjadi perdagangan budak yang didongkrak oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan raja-raja lokal pada abad XVII hingga XVIII. 

Tidak hanya memperjualbelikan budak dari luar kepulauan Nusantara seperti dari Tanjung Harapan, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari daerah Bali dan sekitarnya.

Titik Awal Perdagangan Budak

Kondisi Batavia pasca penaklukan Belanda membuat kota itu sepi penduduk karena penduduk asli Batavia berpindah kebagian selatan Batavia demi menyelamatkan diri. 

Di saat yang bersamaan  Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur di Batavia demi ambisi membangun Batavia bak kota di Belanda. Alhasil Belanda mendatangkan banyak "tenaga kerja" (baca: budak) dari berbagai daerah. 

Budak di Batavia didominasi dari  daerah Bali, Makassar dan Timor. Bahkan sempat hampir setengah populasi penduduk Batavia berstatus budak hal ini pernah menjadi polemik kepadatan penduduk di Batavia. Sekiranya ada sekitar 100.000 budak yang pernah diperjualbelikan di Nusantara dengan Batavia sebagai pusat tempat perdagangannya. 

Lingkungan Yang Mendukung

Tak Ada Asap Jika Tak Ada Api. Mungkin itu peribahasa yang tepat untuk mendeskripsikan fenomena perdagangan budak di Nusantara. Belanda tidak akan membeli budak pribumi apabila tidak ada yang menjualnya. lantas siapakah yang menyediakan budak-budak ini untuk diperjualkan di Batavia? Jawabannya adalah Raja-Raja lokal. 

Lebih tepatnya Raja-Raja Lokal di daerah Bali, daerah Timor dan sekitarnya. Banyak faktor yang mendorong hal ini terjadi. salah satunya adalah Struktur sosial. 

Menurut G. W. Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris (1848), berdasarkan penelitian beliau ditemukan bahwa seorang raja yang dapat dikatakan makmur di Timor harus memiliki lebih dari 600 budak. 

Akan tetapi budak-budak ini tidak bisa diperjualbelikan dikarenakan tidak terdata dengan benar. Di Timor sendiri, budak-budak ini dibeli oleh raja-raja lokal memang sengaja ditujukan untuk pertanian dan pekerjaan domestik. 

Hal ini dapat menjadi bukti nyata bahwa praktik perbudakan di Nusantara sudah terjadi jauh sebelum datangnya bangsa Eropa ke Nusantara. 

Melihat peluang budaya perbudakan di kerajaan-kerajaan Timor inilah, Belanda mulai untuk membeli budak-budak dari kerajaan-kerajaan Timor untuk bekerja pada perkebunan lada di Pulau Banda disisi lain sikap Belanda yang menormalkan eksploitasi budak sebagai pekerja perkebunan, pelayaran, pekerjaan rumah-tangga, dan juga hal ini untuk menaikan derajat sosial mereka sendiri.

Efek Domino

Perdagangan budak yang dimotori oleh kepentingan penguasa lokal dan kebutuhan VOC terhadap tenaga kerja untuk membangun Batavia pun menjadi polemik sendiri bagi penguasa lokal untuk memperjualkan budak-budak mereka. 

Tak bisa ditampi, fakta bahwa terjadi perlombaan di beberapa suku-suku kecil di Timor yang mana bergerak secara individual ini berlomba satu sama lain dalam peperangan untuk memilih siapa yang pantas sebagai budak yang notabenenya dilakukan oleh wanita dan anak-anak dari kasta terbawah (Straits Times Overland Journal, July 22, 1876, 2). 

Kondisi ini diperparah dengan peningkatan permintaan terhadap budak oleh pasar dan kondisi ekonomi raja-raja lokal yang membutuh uang sehingga terjadi perdagangan manusia antar suku (Parimartha 2007, 132-133). Perdagangan manusia antar suku ini diboncengi oleh kepentingan politik-ekonomi raja-raja dari kerajaan besar melawan kerajaan-kerajaan kecil. 

Sebagai bukti, pada tahun 1765 di Kupang terjadi perdagangan manusia secara paksa, setidaknya sebanyak 45 orang kupang diculik di Sumba untuk dijadikan budak (Parimartha 2002, 132).

Maraknya perdagangan budak di Nusantara ini menjadi semakin semrawut ketika terjadi kekerasan dan buruknya proses pengangkutan budak dari daerah Timor menuju ke Batavia. Melalui jalur laut, rute laut dari Kupang ke Batavia memakan waktu setidaknya berminggu-minggu untuk sampai Batavia bahkan untuk karyawan VOC sendiri, rute pelayaran yang panjang ini juga memakan korban jiwa. 

Jika untuk karyawan VOC saja mungkin bisa menelan korban jiwa bagaimana dengan nasib para budak yang diekspor ini. Berdasarkan data, diberitakan di tahun 1769 keadaan menyedihkan 142 budak yang baru saja dibawa dari Timor ke Batavia berkondisi sangat buruk. 

Hal ini disebabkan oleh ketidaknyamanan yang harus ditanggung oleh para budak itu selama perjalan dari Timor ke Batavia. Dengan menggunakan kapal kecil yang kelebihan muatan. 

Kondisi memprihatinkan para budak dan peningkatan populasi di Batavia yang didominasi oleh budak-budak Timor semakin mendesak untuk diperlukannya suatu kebijakan yang bisa menghentikan maraknya perdagangan budak ini. 

Namun kebijakan ini tidak terwujudkan ketika Belanda berkuasa di Nusantara melainkan ketika pada pemerintahan Daendels berakhir dan digantikan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811.

Upaya Pelarangan Praktik Perdagangan Budak

Berbagai masalah akibat praktik perdagangan budak di Nusantara ini mengharuskan adanya kebijakan untuk mengakhiri tindakan melanggar hak asasi manusia ini, namun sangat disayangkan kebijakan pelarangan praktik perdagangan budak dikeluarkan ketika bukan Belanda yang berkuasa pada saat itu yakni ketika pemerintahan Daendels dilengserkan dan digantikan oleh Thomas Stamford Raffles. 

Kala itu Raffles melakukan perombakan habis-habisan dalam hal kebijakan pemerintahan, termasuk kebijakan pelarangan praktik perdagangan yang bernama Pandelingschap. 

Penolakan pun terjadi diantara raja-raja lokal dalam menanggapi kebijakan yang merugikan secara ekonomi bagi mereka, mengingat keuntungan yang didapat dari mengekspor  budak lebih banyak daripada hasil kerajinan tangan atau komoditas ekspor lainnya. 

Namun akhirnya raja-raja lokal tunduk terhadap kebijakan meskipun pada faktanya di lapangan praktik perdagangan budak ini masih terjadi secara sembunyi-sembunyi. 

Hal ini menjadi bukti nyata bahwa praktik perdagangan budak di Nusantara ini bukan hanya diboncengi oleh dari pihak VOC melainkan dari pihak raja-raja lokalnya sendiri sebagai penyedia budak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun