Mohon tunggu...
Ozora Noor
Ozora Noor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Belanda Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa sastra yang demen nulis dan mengabadikan sudut pandang melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Membongkar Dalang di Balik Praktik Pedagangan Budak di Batavia (Abad XVII-XVIII)

29 Desember 2021   00:51 Diperbarui: 29 Desember 2021   01:07 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelang budak di Batavia sekitar 1800. Sumber: Sejarah Modern Awal Asia Tenggara karya Anthony Reid. (Dipublish historia.id)

Lebih tepatnya Raja-Raja Lokal di daerah Bali, daerah Timor dan sekitarnya. Banyak faktor yang mendorong hal ini terjadi. salah satunya adalah Struktur sosial. 

Menurut G. W. Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris (1848), berdasarkan penelitian beliau ditemukan bahwa seorang raja yang dapat dikatakan makmur di Timor harus memiliki lebih dari 600 budak. 

Akan tetapi budak-budak ini tidak bisa diperjualbelikan dikarenakan tidak terdata dengan benar. Di Timor sendiri, budak-budak ini dibeli oleh raja-raja lokal memang sengaja ditujukan untuk pertanian dan pekerjaan domestik. 

Hal ini dapat menjadi bukti nyata bahwa praktik perbudakan di Nusantara sudah terjadi jauh sebelum datangnya bangsa Eropa ke Nusantara. 

Melihat peluang budaya perbudakan di kerajaan-kerajaan Timor inilah, Belanda mulai untuk membeli budak-budak dari kerajaan-kerajaan Timor untuk bekerja pada perkebunan lada di Pulau Banda disisi lain sikap Belanda yang menormalkan eksploitasi budak sebagai pekerja perkebunan, pelayaran, pekerjaan rumah-tangga, dan juga hal ini untuk menaikan derajat sosial mereka sendiri.

Efek Domino

Perdagangan budak yang dimotori oleh kepentingan penguasa lokal dan kebutuhan VOC terhadap tenaga kerja untuk membangun Batavia pun menjadi polemik sendiri bagi penguasa lokal untuk memperjualkan budak-budak mereka. 

Tak bisa ditampi, fakta bahwa terjadi perlombaan di beberapa suku-suku kecil di Timor yang mana bergerak secara individual ini berlomba satu sama lain dalam peperangan untuk memilih siapa yang pantas sebagai budak yang notabenenya dilakukan oleh wanita dan anak-anak dari kasta terbawah (Straits Times Overland Journal, July 22, 1876, 2). 

Kondisi ini diperparah dengan peningkatan permintaan terhadap budak oleh pasar dan kondisi ekonomi raja-raja lokal yang membutuh uang sehingga terjadi perdagangan manusia antar suku (Parimartha 2007, 132-133). Perdagangan manusia antar suku ini diboncengi oleh kepentingan politik-ekonomi raja-raja dari kerajaan besar melawan kerajaan-kerajaan kecil. 

Sebagai bukti, pada tahun 1765 di Kupang terjadi perdagangan manusia secara paksa, setidaknya sebanyak 45 orang kupang diculik di Sumba untuk dijadikan budak (Parimartha 2002, 132).

Maraknya perdagangan budak di Nusantara ini menjadi semakin semrawut ketika terjadi kekerasan dan buruknya proses pengangkutan budak dari daerah Timor menuju ke Batavia. Melalui jalur laut, rute laut dari Kupang ke Batavia memakan waktu setidaknya berminggu-minggu untuk sampai Batavia bahkan untuk karyawan VOC sendiri, rute pelayaran yang panjang ini juga memakan korban jiwa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun