Mohon tunggu...
Salimun Abenanza
Salimun Abenanza Mohon Tunggu... Administrasi - di sini maka di sana

seorang anak dari negeri beruang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Nasehat dari Ende

13 Mei 2015   09:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru saja sampai dari Bandung tadi subuh menumpang kereta Lodaya Malam menuju Yogyakarta. Beruntung di dalam kereta saya bertemu dengan seorang bapak yang memperkenalkan saya tentang kampung beliau Ende di Nusa Tenggara Timur atau NTT. Beliau telah lama hidup di Bandung dan malam itu satu keluarga besar beliau hendak ke Yogyakarta untuk menghadiri upacara pernikahan salah seorang kerabat.

Banyak hal yang kami bicarakan mulai dari alam, budaya, watak, sampai beberapa hal menarik. Bahkan saya baru tahu kalau Ende merupakan  kota Pancasila. Konon sewaktu Bung Karno diasingkan ke Ende, beliau mendapatkan inspirasi disana. (baca disini)

Oiya, hal unik yang saya ingat dari beberapa pembicaraan dengan beliau adalah sebagai berikut;

1. "Saya heran kok disini pengembala malah melayani sapi atau kambingnya. Maksud saya kenapa harus dipotongkan rumputnya dan dibawakan ke kandang. Saya rasa itu terbalik, seharusnya si gembala tugasnya cuma mengantar sapi saja ke tanah lapang lalu sore ambil lagi." Jelas bapaknya sambiil tertawa. Saya jadi ikut tersenyum dan tertawa. Benar juga ketika ke daerah Nusa Tenggara saya menemukan sapi benar-benar bisa dikatakan hidup bebas. Mungkin karena alamnya masih nyaman dan aman untuk melepas sapi. Sedangkan pemilik sapi di daerah padat penduduk mungkin susah mencari tempat untuk mengembalakan ternak mereka. Akan tetapi logika si Bapak menurut saya betul. Walaupun ternak ada di tengah kota sekalipun pasti ada tempat untuk membawa si ternak untuk makan, tanpa harus si penggemabala melayani dengan banyak tenaga.

2. "Kalau disana tidak ada pengemis. Kalau ada yang menadahkan tangan Plek! (beliau menamparkan tangan ke bawah) Akan kami suruh pergi garap itu tanah banyak yang kosong. Bahkan dulu ada pengamen kami suruh pergi mencari kerja karena masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus meminta minta apalagi kalau fisiknya masih sempurna. Dia juga mau nyanyi suara kami lebih bagus lah!" Cerita bapak itu tentang kondisi pengemis di Ende. Tapi terlepas kondisi lapangannya seperti apa pola pikir ini jatuhnya bisa diterima untuk solusi pengentasan kemiskinan.

3."Dulu ada orang kaya (dari etnis tertentu) yang bikin rumah dengan pagar tinggi di kota kami. Hingga terlihatlah kalau orang itu tak mau bergaul dengan masyarakat sekitar. Suatu hari rumah mereka kebakaran lalu hendak bagai mana kami menolong. Mereka terkurung didalam. Sampai akhirnya mereka diselamatkan juga dan kami beri nasehat pada mereka inilah pelajaran supaya jangan 'membangun pagar' terlalu tinggi. Hingga tetangga saja tak tersapa" jelas bapak itu. Menurut si Bapak di Ende orang hidup rukun, 'pagar orang sana' tidak tinggi sehingga masih bisa bertegur sapa dan menjalin silaturahmi dengan baik.

4. "Orang sana suka nyanyi bahkan saya tau lagu itu orang Padang yang sering di putar di terminal kalau saya nunggu angkot pas sekolah dulu. pa itu lagunya 'Kambanglah bungo parawitaan...' atau 'Kutang barendoo...'. Itu lagunya enak. Jadi kami kalau pergi kemana-mana bisa bersiul sambil bersenandung. Makanya daerah saya dijuluki punya suara alam yang bagus. Paling tidak itu dari masyarakatnya sendiri." jelas beliau. Saya cukup kaget mendengarkan beliau tahu lagu berbahasa minang yang dua buah itu. Apalagi yang kutang barendo (sungguh onde mande, hehehe).  Memang orang NTT dianugrahi suara dan kemamuan bermusik yang tinggi. Beliau juga menjelaskan kalau bersenandung adalah hal yang menciptakan ketika hendak pergi ke suatu tempat atau dalam bekerja.

Sebenarnya ada banyak hal menarik lain yang disampaikan oleh si bapak. Mengenai bahasa di NTT yang sangat beragam, bahkan perbedaan geografis gunung dan pantai saja sudah melahirkan bahasa yang berbeda sama sekali satu dan lainnya. Mengenai kebiasan mengunyah sirih.  Minum keras tradisional mokel. Kegiatan berdansa hingga matahari terjungkil untuk merayakan anak yang habis wisuda.

Semoga sedikit cerita dari seorang Bapak yang penulispun lupa berkenalan siapa namanya ini bisa menambah khazanah pengetahuan pembaca tentang betapa kayanya Indonesia. Betapa kita takkan pernah tahu siapa saudara kita kalau kita tak pernah menyapa dan mencoba memahaminya. doakan saya semoga suatu hari saya bisa jalan-jalan ke NTT dan menyebrang ke Sulawesi.

.

Sleman (I love Indonesia, more and more.) 13-05-2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun