Pada saat berdirinya International Amateur Radio Union (IARU) tahun 1925, wilayah nusantara masih dikuasai oleh Belanda, dan pada saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia Pertama. Pada saat itu, komunikasi antara Netherland dengan Hindia Belanda (julukan untuk wilayah Nusantara) hanya mengandakan saluran kabel Laut yang melintas Teluk Aden yang dikuasai oleh Inggris.
Timbul kekhawatiran Belanda atas saluran komunikasi tersebut, mengingat Inggris terlibat dalam Perang Dunia Pertama tersebut sedangkan Belanda ingin bersikap netral. Oleh karenanya, dilakukanlah berbagai percobaan dengan menempatkan beberapa stasiun relay di Malabar, Sumatra, Srilangka dan beberapa tempat lagi.
Skema Antenna Radio Malabar Yang Meliputi Gunung
Dari pengamatan di lokasi, nampaknya bangunan gedung Stasiun Radio Malabar dibuat menghadap ke negeri Belanda. Lalu antenna ditarik sloop ke atas agar menghasilkan arah pancaran ke negeri Belanda, dengan lembah diantara dua pengunungan tersebut sebagai reflektornya. Sunggguh karya perencanaan kerja yang luar biasa.
Pada tahun 1925, Prof. Dr. Ir. Komans di Netherland berhasil melakukan komunikasi dengan Dr. Ir. De Groot yang menggunakan Radio Malabar di Pulau Jawa. Kejadian ini merupakan titik tolak masuknya Komunikasi Radio di Indonesia, dan Pemerintah Hindia Belanda mendirikan B.R.V. (Batavian Radio Vereneging) dan NIROM.
Para teknisi yang bekerja di kedua instansi ini umumnya adalah orang Belanda dan ada beberapa Bumi putra, terus menekuni sistem komunikasi radio dengan melakukan koordinasi dan eksperimen bersama para Amatir Radio di dunia. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Netheland Indice Vereneging Radio Amateur (NIVIRA).
Seorang anggota NIVIRA Bumi Putra dengan Callsign PK2MN, memanfaatkan kemampuannya dalam teknik elektronika radio untuk membakar semangat kebangsaan dengan mendirikan stasiun radio siaran yang diberi nama Solose Radio Vereneging (SRV) yang ternyata mendapat simpati rakyat.
Keberhasilan ini ditiru oleh beberapa Anggota NIVIRA Bumi putra dengan mendirikan stasiun radio siaran serupa, antara lain MARVO–CIRVO–VORO–VORL. Pada tahun 1937, mereka bergabung dengan membentuk Persatoean Perikatan Radio Ketimoeran (PPRK). Perhimpunan ini tidak dilarang oleh kolonial Belanda karena dengan banyaknya masyarakat memiliki pesawat penerima radio maka mereka akan dapat memungut pajak radio sebanyakÂ-banyaknya.
Era pendudukan Jepang di Nusantara telah memusnahkan seluruh perangkat komunikasi radio dan radio siaran yang ada, NIROM dikuasai dan diganti namanya menjadi Hoso Kanry Kyoku, dan kegiatan Amatir Radio dilarang. Akan tetapi, Amatir Radio Bumi Putra tetap berjuang dengan melakukan kegiatan secara sembunyiÂ-sembunyi guna menunjang perjuangan kemerdekaan dengan membentuk Radio Pejuang Bawah Tanah, dan tak sedikit Amatir Radio yang dipenggal karena dituduh sebagai mataÂ-mata Sekutu.Â
Tulisan ini di ambil dari WikiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H