Wisata halal saat ini mulai dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia. Konsep besar pariwisata halal ini adalah menyediakan objek di lokasi wisata yang ramah pengunjung, khususnya warga Muslim. Mulai dari penyediaan tempat sholat, layanan, makanan halal, bebas alkohol, dll.Â
Untuk sebagian besar daerah di Indonesia, khususnya yang memang warganya mayoritas Muslim, penyelenggaraan pariwisata halal mudah diterapkan. Biasanya sudah terintegrasi dengan peraturan daerah. Misalnya, di Kabupaten Enrekang, oleh karena perda di daerah penghasil sayur ini sudah terintegrasi dengan kaidah-kaidah hidup sebagai warga Muslim, maka konsep wisata halalnya pun mudah diterapkan. Apalagi ditunjang oleh pelaku wisata yang memang Muslim.
Kondisi kontras berbeda ketika berada di wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Oleh karena penduduknya mayoritas Kristen dan masih kuatnya pengaruh kepercayaan Aluk Todolo, maka konsep wisata halal dalam tanda kutip sulit terealisasi.
Khusus di Kabupaten Tana Toraja, program pariwisata halal pernah digaungkan di bawah pemerintahan bupati yang menjabat pada periode 2015-2020. Program tersebut sebagai perpanjangan kebijakan dari Pemrov Sulawesi Selatan.
Tantangan besar penerapan wisata halal di Tana Toraja adalah kegiatan budaya dan adat. Terkait kegiatan ini wajib ada babi dan minuman alkohol tradisional (tuak). Ternak babi ada di mana-mana dan tuak pun dijual bebas. Dua objek ini sudah bertentangan dengan konsep wisata halal.Â
Warga Toraja yang mayoritas Kristen, memang sebagian besar beternak babi. Hampir setiap rumah tangga Kristen memiliki kandang dan ternak babi di rumah. Bukan hanya di perkampungan, termasuk pula di sekitar area kota. Uniknya lagi, sejumlah warga Toraja yang Muslim pun ada yang beternak babi. Bagaimanapun juga, babi adalah salah satu penggerak utama pertumbuhan perekonomian di Toraja.Â
Pemda Tana Toraja saat itu menerapkan kebijakan di mana semua warga yang berdomisili di daerah kota untuk membongkar kandang babi mereka. Maksud dari pembongkaran tersebut adalah untuk merespon program pariwisata halal sekaligus penataan kota.
Ternyata, warga menolak. Tak ada satupun warga yang bersedia membongkar kandang dan memindahkannya. Mereka bertahan, apalagi limbah dari kandang mereka pun sudah dikelola dengan profesional sehingga tidak mengeluarkan aroma yang kurang sedap.Â
Tambahan pula, pasar tradisional, yakni Pasar Baru Makale juga menyediakan lapak khusus jual-beli babi. Bukan hanya babi hidup, melainkan dagingnya. Aktifitas di lapak khusus inipun terus aktif setiap hari.Â
Ternak babi tak bisa dipisahkan dari kehidupan warga Toraja. Selain kerbau, babi adalah pokok bagian dari setiap peristiwa budaya dan adat. Prosesi dan ritual adat yang diselenggarakan oleh warga penganut Aluk Todolo dan Alukta (di wilayah Kecamatan Simbuang), baik di acara persiapan tanam, menolak bala, syukuran dan kedukaan pasti membutuhkan kehadiran babi.
Nah, jauh sebelum wisata halal diprogramkan pemerintah provinsi, memang sulit merealisasikannya di Toraja. Selain dominasi ternak lokal, warung makan dan restoran pun didominasi non-halal.Â
Pengaruh dominasi warga Kristen dan budaya lokal pun menghadirkan kontroversi penyelenggaraan pariwisata halal. Hanya saja, pro dan kontra tak berlangsung lama. Pemda tidak memaksakan diri demikian pun pemprov. Warga Toraja kembali menjalani kehidupan mereka dengan normal. Inilah keunikan yang dihadirkan Toraja.
Merespon keunikan di Toraja ini, pemprov Sulsel pun mengambil solusi alternatif. Pembangunan rest area dengan konsep halal menjadi opsi. Khusus di Tana Toraja pembangunan rest area belum terealisasi meskipun lokasinya sudah pernah ditentukan.
Sementara di Kabupaten Toraja Utara, satu rest area yang dilengkapi mushollah sudah dibangun. Lokasinya di Bua, 2 kilometer sebelum kota Rantepao. Namun, rest area tersebut tak pernah berfungsi. Tak ada satupun pengunjung yang memanfaatkannya. Demikian pula pelaku UMKM. Rest area kini terbengkalai dan dikelilingi tumbuhan semak.
Memang susah membangun rest area di seluruh wilayah Toraja. Alasannya sederhana. Rest area tak fungsional karena objek wisata hampir berdekatan semua. Wisatawan lebih cenderung langsung masuk kota untuk istirahat atau langsung ke objek wisatanya.
Solusi lain yang diterapkan di Toraja untuk merespon layanan pariwisata halal adalah setiap warung dan restoran yang menyediakan layanan halal wajib memasang tulisan HALAL di depan warung atau restoran. Termasuk promosi di media sosial dan informasi di website.
Jadi, bagi pengunjung dan wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja dan Toraja Utara, jangan sungkan untuk bertanya kepada warga lokal terkait lokasi tempat makan halal. Jika ragu dengan keberadaan makanan, maka bisa berbelanja di gerai Alfamidi dan Indomaret.
Satu lagi, para pedagang dan pengelola gerai/toko yang menyediakan merchandise Toraja di berbagai objek wisata juga berasal dari warga Muslim. Termasuk beberapa tukang foto di kawasan wisata religi Patung Yesus di Buntu Burake, mereka adalah warga Muslim pendatang.
Sebagai informasi, warung makan halal di Tana Toraja dan Toraja Utara dikelola oleh warga pendatang dari Pulau Jawa, Makassar, Bugis dan Mataram. Lokasinya rata-rata strategis, ada di sekitar jalan trans Sulawesi dan area masjid.Â
Pariwisata Toraja yang didominasi oleh peristiwa budaya, pesona alam dan kearifan lokal tetap menjadi magnet bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Edukasi tentang keragaman Indonesia dan keunikan Toraja telah menjadi bagian tak terpisahkan dari konsep pariwisata halal. Pelaku usaha yang berkontribusi untuk pariwisata Toraja mampu menempatkan diri dengan optimal dalam suasana kemajemukan adat istiadat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI