Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Buroncong, Kue Legendaris Yang Tak Tergerus Zaman

28 Januari 2025   08:27 Diperbarui: 28 Januari 2025   18:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buroncong hangat pagi hari. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Jajanan tradisional selalu dicari dan dirindukan banyak orang. Tentu saja setiap daerah memiliki jajanan khasnya masing-masing. Penggunaan bahan baku alamiah menjadi daya tarik tersendiri.

Di sisi lain, jajanan tradisional dari Pulau Jawa harus diakui banyak mempengaruhi kelangsungan jajanan serupa di berbagai penjuru tanah air. Salah satunya adalah pukis, yang dalam bahasa Makassar dan Toraja lebih populer dengan nama buroncong. 

Buroncong adalah salah satu jajanan tradisional yang melegenda di Tana Toraja. Bentuknya unik seperti mistar busur dan kenyal. 

Betapa tidak, buroncong telah ada saat saya mulai masuk kelas 1 SD di tahun 1990. Saat itu, harga per biji Rp 25. Penjual buroncongnya beroperasi dengan cara mendorong gerobak mulai dari Pasar Sudu di Kabupaten Enrekang hingga beberapa desa di sepanjang jalan trans Sulawesi dalam wilayah Tana Toraja.

Seiring perjalanan waktu, buroncong tetap hadir menyapa warga Tana Toraja. Dari tahun ke tahun, rasa dan modelnya tak mengalami perubahan. Sampai hari ini, buroncong tetap lestari dibuat dan dijajakan oleh warga blasteran lokal Toraja. Harga sebiji buroncong saat ini adalah Rp 1.000.

Terdapat tiga penjual buroncong di sekitar Kota Makale yang setia melayani pengunjung dari subuh hingga menjelang tengah hari. Selebihnya, beberapa penjual gorengan di Pasar Makale turut menjual buroncong yang dijajakan bersama pisang goreng, pisang molen, donat dan jalankote.

Saya menandai dua penjual buroncong di Kota Makale yang setia dengan gerobak dorongnya. Satu mangkal setiap hari di pusat kota, tepatnya perempatan jalan trans Sulawesi. Satunya lagi mangkat di depan kantor Telkom Makale, pertigaan jalan menuju objek wisata religi Patung Yesus, Buntu Burake.

Buroncong menjadi menu sarapan atau pengganjal perut alternatif setiap pagi. Penjual buroncong mulai beroperasi di beberapa titik perempatan jalan sejak subuh.

Di saat-saat saya butuh sarapan mendadak pun, buroncong adalah sasaran utama saya. Menyantap beberapa potong buroncong hangat sukses menenteramkan perut di pagi hari. 

Sebiji buroncong. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Sebiji buroncong. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Keistimewaan buroncong adalah bahan bakunya alamiah dan proses pembuatannya masih mempertahankan metode tradisional. 

Bahan utama buroncong sangat alamiah dan ramah lingkungan, yakni tepung terigu, santan kelapa asli, sedikit gula pasir dan parutan kelapa serta sedikit margarine untuk greasing tempat adonan buroncong. Perpaduan bahan-bahan ini sudah cukup menghasilkan buroncong yang gurih dan nikmat.

Untuk proses masak, kayu bakar masih menjadi sumber utama pengapian. Tempat pembakaran buroncong mendapatkan panas alami dari tungku kayu bakar. Gerobak kecil dengan tungku kayu khas buroncong belum berubah bentuknya selama puluhan tahun.

Nilai alamiah buroncong makin bertambah dengan penggunaan daun pisang sebagai alas jajajan. Perpaduan buroncong panas dengan daun pisang menghasilkan aroma khas yang justru makin mengundang selera makan. 

Buroncong secara tidak langsung membawa pesan untuk makan makanan sederhana bebas bahan kimia. Selain itu mengajarkan  kita untuk menjaga kelestarian lingkungan. Penggunaan daun pisang tentunya berkontribusi untuk mengurangi sampah. Memang masih ada kantong plastik yang disediakan penjual, tetapi penggunaan daun pisang tentunya adalah tindakan  positif dibandingkan menggunakan kertas nasi atau wadah stereoform.

Sampai hari ini, buroncong tetap laris manis. Bukan hanya di Kota Makale saja, tetapi juga di pasar-pasar tradisional. Khusus di pasar tradisional, satu penjual buroncong tradisional dari warga lokal masih beroperasi. Mereka duduk menghadapi tungku kayu di sudut-sudut pasar. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun