Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan Program Makan Bergizi Gratis Berkontribusi Untuk Perubahan Iklim

10 Januari 2025   10:24 Diperbarui: 10 Januari 2025   10:29 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paket menu makan bergizi gratis siswa pada salah satu sekolah di Surabaya. (Sumber: surabaya.kompas.com)

Tiupan peluit kick off Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah mendengung di minggu kedua di seluruh provinsi Indonesia. Namun, belum semua sekolah melaksanakannya. Hanya sejumlah sekolah yang telah siap daya dukungnya, baik dari sisi sarana maupun kekuatan dapur umumnya. 

Berdasarkan hasil kick off, kisaran biaya makan bergizi gratis di berbagai daerah bervariasi, mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 10.000. Biaya ini untuk belanja utama bahan baku menu makan siswa berupa nasi, sayur, buah dan lauknya. 

Namun, saya tidak akan fokus membahas efektifitas biaya. Saya tertarik pada sejauh mana program MBG ini bisa berkontribusi untuk perubahan iklim. 

Seperti kita ketahui bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Setiap tahun, permukaan air laut terus naik seiiring dengan terus melelehnya gunung es di kutub utara dan kutub selatan sebagai dampak dari pemanasan global. Jika tidak ada intervensi dan aksi nyata secara masif dan berkelanjutan, maka dalam hitungan beberapa tahun ke depan banyak wilayah di dunia akan tenggelam. 

Fakta tenggelamnya sejumlah wilayah sebagai dampak naiknya permukaan air laut sudah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Kota Jakarta masuk dalam wilayah yang berpotensi tenggelam di tahun 2100. 

Nah, bagaimana program MBG ini bisa berkontribusi untuk perubahan iklim? 

Mari memulainya dengan dengan menganalisis sejauh mana satu porsi makan untuk siswa, apakah bisa dihabiskan atau justru meninggalkan sisa? Melihat takaran biaya dan ukuran porsinya, makanan bisa habis. 

Tetapi, perlu menjadi perhatian pihak sekolah penyelenggara MBG dan pemerintah bahwa dalam satu hari pemberian makanan, pasti ada sisanya. Apakah berupa nasi, tulang, sayuran atau bungkus susu kotak. Khusus pemberian susu kotak, sudah pasti meninggalkan sampah. 

Jika dalam satu sekolah dengan jumlah siswa mencapai 300, lalu semuanya meninggalkan 300 kotak susu belum lagi sampah dari sisa makanannya, bisa dihitung volume sampah yang dihasilkan setiap hari. Pertanyaannya, bagaimana penanganan sampah sisa makanan dan sampah lain dari MBG ini? Apakah langsung dibuang ke tempat sampah atau ditumpuk di lahan kosong dan dibakar?

Belajar dari program MBG di sekolah Korea Selatan, khususnya yang saya saksikan dan alami di Jejuseo Middle School, sangat jarang ada sampah sisa makanan dari siswa. Mereka menerapkan kearifan lokal yang terkait dengan penanganan sampah. Siswa sangat menghargai makanan. Menu makan siang gratis mereka enak atau tidak, mereka tetap menghabiskannya. Prinsip siswa Korea Selatan adalah menyisakan dan membuang makanan sama dengan membuang uang ke tempat sampah. Ya, ini fakta yang menarik karena membuang sampah sisa makanan di sana berbayar.

Sisa makanan dari makan bergizi gratis siswa berupa tulang pasti ada. Tetapi sampah ini pun tetap terkelola dengan baik. Pernah satu hari Jumat di bulan Oktober 2024, pengelola tempat penumpukan sampah sisa makanan di kantin sekolah tidak datang ke sekolah pada hari itu, maka siswa pun membawa pulang sisa makanan mereka ke rumah masing-masing.

Prinsip lain yang mereka pegang adalah menghasilkan sampah dari sisa makanan dan tidak terkelola dengan baik juga berpotensi pada kerusakan lingkungan. Misalnya, sisa sampah yang terbuang ke sungai akan mengarah ke laut yang merusak ekosistem perairan. 

Terkait kerusakan lingkungan ini, potensi sampah yang dihasilkan oleh program makan bergizi gratis di Indonesia sangat besar. Potensi itu terbuka dari kemungkinan anak mulai bosan pada makanan yang diberikan, mengalami alergi atau tidak meminatinya sama sekali. Belum lagi sampah berupa kulit buah, dos makanan dan kotak susu serta kemungkinan kemasan air mineral.

Sampah dari kemasan air mineral bisa diatasi dengan mengajak siswa disiplin membawa tumbler/botol air minum sendiri. Selain itu, sekolah menyediakan layanan air minum.

Oleh karena belum ada kebijakan khusus tentang penanganan dan pengelolaan sampah secara efektif dan berkelanjutan serta tepat guna di negara kita, maka sampah-sampah dari MBG ini sangat besar potensinya meninggalkan jejak negatif di lingkungan. Sampah berujung di tempat sampah tanpa penanganan lebih lanjut. Selebihnya diangkut petugas Dinas kebersihan ke TPA, di sana menggunung dan dibakar, meninggalkan pencemaran lingkungan melalui material sampah dan asap. Pembakaran sampah berbahan dasar plastik turut memicu pemanasan global. Demikian pula jika sampahnya terbuang ke laut.

Barangkali di kawasan perkotaan, penanganan sampah dari MBG masih bisa tertangani. Sedikit kontras dengan kondisi di sekolah pinggiran. Terlebih jika paket makan siang siswa menggunakan dos dari stereoform dan kertas. Sampah ditumpuk saja di lahan kosong dan dibakar. 

Saya sangat berharap, lewat program MBG ini, pemerintah bisa mendampinginya dengan kebijakan pengelolaan sampah secara kontinyu. Sampah dipilah dengan baik. Hanya jenis sampah umum yang bermuara ke TPA, sampah sisa makanan dikumpulkan dalam wadah khusus untuk diolah menjadi pupuk organik. Adapun sampah lain dari bahan kertas, botol plastik, dan kaleng yang bisa didaur ulang juga dikumpulkan dan langsung bermuara ke pengepul sampah. Dengan demikian, bisa mengurangi potensi penumpukan sampah.

Jadi, program makan bergizi gratis tidak hanya memberikan asupan gizi yang cukup untuk siswa. Penerapannya perlu berjalan beriringan dengan kontribusi positif terhadap intervensi pada perubahan iklim. Memulai hal-hal yang kecil dari sekolah untuk keselamatan bumi tentunya bisa membawa dampak positif selama pelaksanaannya disiplin, teratur dan berkelanjutan. Konsep ini membutuhkan peraturan dan petunjuk teknis yang serius yang dimulai dari pemerintah daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun