Acara perkawinan modern, khususnya resepsi biasanya berlangsung di hotel, aula atau gedung dengan suasana mewah. Demikian pula dengan perkawinan berbalut budaya, sudah banyak yang terinspirasi acara perkawinan masa kini.Â
Di satu acara perkawinan di Tana Toraja baru-baru ini, justru menyajikan nuansa dan keunikan yang luar biasa. Keunikan pertama adalah pasangan pengantin merupakan teman dari masa kecil.
Ya, berteman dari kecil dan berakhir indah di pelaminan. Pengantin pria berprofesi sebagai tenaga kependidikan di TK & SD Katolik Renya Rosari di Kota Makale dan pengantin wanita adalah guru agama Katolik dari SMAN 5 Tana Toraja.
Pemberkatan perkawinan dilaksanakan di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph Pekerja Rinding Batu Santung, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja. Keunikan kedua dihadirkan oleh letak bangunan Gereja Katolik.
Gereja Katolik ini berdiri di tebing batu yang cukup curam. Akses jalan menuju gereja berupa puluhan anak tangga dengan posisi menanjak. Sudah dijamin ngos-ngosan ketika menapaki puluhan anak tangga dari jalan raya hingga ke halaman gereja. Mendekati halaman gereja, kita seperti berjalan dalam gua yang menikung. Beberapa rekan guru sesekali berhenti menarik nafas. Unik dan menegangkan.Â
Pemandangan menakjubkan tersaji ketika tiba di halaman gereja. Bentangan alam, hutan bambu dan lereng pegunungan memanjakan matan sekaligus membyar lunas terjalnya tangga yang dilewati.Â
Di halaman gereja dan sekitarnya layak disebut sebagai situs objek wisata rohani. Ada gua kecil dengan patung Bunda Maria dan di bagian puncak bukit terdapat patung salib ukuran sedang.
Keunikan ketiga adalah rombongan keluarga dan tamu undangan yang hadir tersebar di berbagai tempat. Hal ini karena halaman gereja di tebing memang sangat sempit. Sebagian besar tamu yang hadir duduk dalam tenda khas toraja yang disebut barung/lantang di pinggir jalan raya. Tamu lainnya ditempatkan di aula gereja dalam beberapa petak pondok. Hanya beberapa tamu dan dan undangan Muslim ditempatkan di halaman gereja.
Keunikan keempat, perkawinan tersebut diselenggarakan dalam balutan budaya Toraja. Dimulai dari busana pengantin sangat kental dengan Toraja. Demikian pula dengan busana kedua orang tua mempelai.Â
Seperti sudah menjadi tradisi bahwa orang Toraja ketika menikah akan selalu mengenakan busana khas Toraja yang terbuat dari kain tenun Toraja bernama pa'tannun. Dari kain tenun tradisional inilah yang selalu pula menginspirasi pembuatan busana dan gaun mempelai di atas pelaminan.
Berbicara tentang pelaminan, maka karakteristiknya pun tak lepas dari kekuatan budaya Toraja. Pelaminan unik dengan balutan ornamen, ukiran dan simbol-simbol Toraja sangat kental. Konsep minimalis selalu tampak pada pelaminan khas Toraja.
Semua ornamen dan simbol yang dikenakan oleh pengantin memiliki makna. Demikian pula dengan ornamen yang terpasang di pelaminan. Setiap ornamen dan simbol tak dipasang dengan sembarangan. Ada makna mendalam di baliknya, salah satunya tentang derajat atau status dalam masyarakat.
Balutan budaya Toraja sangat kental ketika proses iring-iringan pengantin diikuti rombongan keluarga menuju ke pelaminan. Prosesi dipimpin oleh seorang to ma'parapa'. Bahasa sastra lisan yang memuat makna sangat mendalam disampaikan oleh to ma'parapa'. Bahasa sastra ini dikenal dengan singgi'.Â
Di samping itu, sejarah dan asal muasal singkat kedua mempelai disampaikan to ma'parapa' dalam singgi'. Beberapa nama tongkonan yang menjadi asal nenek moyang kedua mempelai bisa diketahui tamu undangan yang datang melalui singgi' to ma'parapa'.
Satu kelompok penari pa'gellu' berjalan paling depan dari iringan pengantin. Mereka menari diiringi bunyi seruling dan gendang khas Toraja. Peniup seruling adalah seorang anak laki-laki dan dua anak laki-laki lainnya menabuh gendang.
Selanjutnya, beberapa anak laki-laki dan perempuan dengan peran sebagai pagar ayu dan pagar bagus berjalan di belakang penari. Lalu, secara berurutan diikuti pasangan mempelai, kedua orang tua, saudara dan sanak famili.
Prosesi iringan pengantin ke pelaminan berlangsung 10-30 menit tergantung pada rute dan status sosial dari kedua mempelai. Semakin tinggi status sosial, biasanya singgi'Â makin panjang.
Oleh karena lokasi resepsi perkawinan yang ada di lereng perbukitan, maka tiupan angins sepoi-sepoi ditambah keindahan alam makin menambah nikmat sajian resepsi. Makanan khas Toraja seperti pa'piong dan pantollo' bue (mirip brenebon dari Manado) tersaji di atas meja prasmanan.
Dilatarbelakangi oleh lokasi pembuatan pelaminan yang terbatas oleh bebatuan, maka pelaminan yang dibuat di samping kiri pintu masuk gedung gereja pun tergolong mungil dan minimalis. Pemandu acara pun memperingatkan para tamu undangan untuk antri dengan baik saat sesi pemberian ucapan selamat agar pelaminan tidak roboh.Â
Pelaminan menghadap langsung ke arah Buntu Sikolong yang hijau. Lengkap sudah keunikan dan kebahagiaan kedua mempelai.Â
Pemberian nama Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph Pekerja Rinding Batu sesuai dengan lokasinya. Dalam bahasa Toraja, rinding berarti dinding. Gereja ini dibangun di sisi tebing yang menyerupai dinding batu.
Tokoh Katolik, Santo Yoseph digambarkan daam bentuk sebuah patung yang dibangun di sisi jalan raya, tepat di samping tangga naik ke gereja Katolik.
Secara keseluruhan, kawasan gereja telah dijadikan sebagai lokasi wisata religi bagi umat Katolik di Toraja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H