Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kualitas Pendidikan Jangan Diukur Dengan Ujian Nasional

4 Januari 2025   11:26 Diperbarui: 4 Januari 2025   16:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan Ujian Nasional Berbasis Komputer tahun 2016. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ujian Nasional kembali menguat untuk dilaksanakan. Drama dan cerita UN telah dialami oleh guru dan siswa beberapa tahun yang lalu. 

Intinya, UN diselenggarakan sebagai syarat kelulusan untuk melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. UN juga diklaim sebagai ukuran standar kualitas pendidikan nasional di mana soal UN dibuat seragam untuk semua siswa di seluruh Indonesia.

Hanya saja, ketika ada UN akan lebih banyak energi, emosi dan materi yang terkuras. Seperti diketahui, biaya pengawalan soal UN, pengamanan pelaksanaan UN, dan biaya lainnya turut membebani sekolah. Belum lagi, calo jawaban soal UN yang sebenarnya banyak merusak integritas UN itu sendiri 

Dalam pandangan saya selaku guru, Ujian Nasional tak selamanya dapat dijadikan sebagai tolok ukur kualitas pendidikan nasional. Kualitas pendidikan ada pada kualitas guru. Selain itu tentunya didukung pula oleh kebijakan pemerintah melalui kurikulum.

Namun, kebijakan ganti menteri ganti kurikulum adalah hal pokok yang perlu dibenahi. Secanggih apapun konsep kurikulum, tak akan langsung dirasakan dampaknya dalam 3-5 tahun. Apalagi jika hanya 1-2 tahun. Mustahil!

Kurikulum dan Ujian Nasional butuh waktu panjang 10-25 tahun baru bisa dirasakan dampaknya dengan ketentuan semua aktor langsung pendidikan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai standar dan tujuan pendidikan nasional.

Tiga tahun lalu, Kurikulum Merdeka sementara berjalan. Memasuki pemerintahan baru, berubah menjadi kurikulum nasional dengan konsep yang sama. Masih menjadi tanda tanya ke mana arah kurikulum di bawah menteri baru. 

Dampak kurikulum merdeka (kumer) sendiri belum maksimal. Apalagi sekolah penyelenggara kumer belum merata di seluruh Indonesia. Di sisi lain, kualitas guru lewat program guru penggerak pun belum merata. 

Salah satu poin positif dari kumer yang belum maksimal adalah pendidikan karakter. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) perlu dipoles lagi agar lebih sederhana dan berdampak lebih jauh. 

Penyederhanaan konten pelajaran agar lebih kontekstual dan sesuai kebutuhan belajar siswa pun belum maksimal.

Kembali ke masalah UN, sejujurnya, sebagai guru, saya lebih merdeka, lebih fleksibel dan lebih nyaman mendidik dan mengajar tanpa UN. Tak ada lagi kasak-kusuk siswa mencari jawaban soal UN. Di masa UN, profesi guru seolah tak bernilai karena siswa lebih fokus dan percaya pada kunci jawaban dibanding materi pelajaran dari gurunya.

Ujian Sekolah (US) dalam konteks level nasional bisa dijadikan opsi penyelenggaraan ujian akhir. Artinya, kementerian menyiapkan indikator nasional untuk menjadi pedoman sekolah menyiapkan instrumen US. 

Opsi lainnya adalah 25% konten US berisi naskah soal dari pusat atau provinsi. Sementara 75% sisanya adalah soal US yang sesuai dengan karakteristik daerah/sekolah.

Konsep US ini pernah diberlakukan beberapa waktu yang lalu. Hanya saja, saat itu independensi para guru penulis naskah soal tetap goyah. Masih ada kunci jawaban yang bocor, terutama kepada keluarga langsung dari penulis naskah soal. 

Jika UN dipaksakan seragam seluruh Indonesia, maka UN jangan sampai kembali menjadi momen "khusus" menjelang tamat bagi siswa. Selain itu, sistem UN sebaiknya berbasis Lembar Jawaban Komputer di mana hasil akhir melewati proses scanning. Cara ini sedikit lebih baik. Tantangannya adalah biaya penjemputan, pengiriman dan pengawalan naskah soal. 

Pilihan menyelenggarakan UN berbasis komputer sebenarnya baik. Hanya saja, beban biaya untuk sekolah tinggi dalam menyiapkan pelaksanaan ujian. Belum lagi, jika kunci jawaban soal UN sudah "terjual" bebas, maka siswa hanya butuh 30 menit dalam menyelesaikan soal UN. 

Sebagai guru yang pernah mengalami berbagai macam jenis UN dan US, selalu ada kondisi dilematis di sekolah ketika independensi dan integritas ujian itu ternoda oleh berbagai aktifitas "bawah tanah" demi menghasilkan status lulus 100% dan nilai rata-rata UN/US tertinggi. 

Sehingga, jika tolok ukur kualitas pendidikan  nasional akan berpedoman pada hasil UN, maka hasilnya tidak akan valid sepenuhnya selama aktifitas yang mengganggu integritas UN itu masih ada. 

Demikianlah ragam tantangan yang masih tersisa dari pelaksanaan UN di masa mendatang. Perlu ada terobosan kebijakan dari pemerintah yang dijalankan secara jangka panjang dan memiliki integritas secara nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun