Petasan dan kembang api seolah telah menjadi tradisi di masa perayaan Natal dan menyongsong Tahun Baru bagi warga Toraja. Sejak memasuki tahun 2010, petasan dan kembang api mulai populer. Memasuki bulan November hingga awal Januari tahun berikutnya, penjual petasan memadati Kota Makale di Kabupaten Tana Toraja dan Rantepao di Kabupaten Toraja Utara.
Beberapa tahun belakangan, petasan dan kembang api sudah mulai menghiasi malam di Toraja sejak hari pertama bulan Desember. Bahkan di siang hari pun, bunyi petasan sudah terdengar.
Namun, ada yang sangat berbeda di tahun 2024. Animo membakar petasan dan kembang api berubah drastis. Kontras denga tahun-tahun sebelumnya.Â
Penjual petasan memang masih cukup masif memasuki wilayah Toraja. Sebagian besar penjual adalah warga pendatang dari daerah Bugis dan Makassar. Sisanya adalah warga lokal.
Biasanya di tanggal 25 Desember malam, bunyi dan semarak petasan sudah menghiasi langit Kota Makale, termasuk tempat-tempat lain di Tana Toraja sampai ke perkampungan. Tahun ini, suasana bisa dibilang sepi ledakan petasan. Hanya ada beberapa kali ledakan petasan di malam hari. Plaza Kolam Makale yang biasa menjadi pusat pesta petasan dan kembang api, juga minim aktifitas ledakan petasan.
Apakah turunnya animo warga Toraja membeli dan membakar petasan ada kaitannya dengan tema Natal 2024, "Ayo ke Betlehem?" Entah terkait atau tidak, secara tidak langsung kesederhanaan Betlehem mungkin telah dipahami warga Toraja.
Perayaan Natal bukanlah tentang kemewahan dan pesta petasan & kembang api. Tetapi lebih pada penghayatan bagaimana kesederhanaan Yesus lahir di dunia yang jauh dari kemewahan.Â
Dalam pandangan saya, Betlehem hadir di saat yang tepat di Toraja. Saat ini, Toraja sedang paceklik produk lokal andalan, yakni ternak babi. Babi adalah kebutuhan utama pelaksanaan perayaan Natal, baik di gereja maupun di lingkup keluarga. Sekarang ini, harga babi naik hingga 200 persen. Misalnya, harga babi ukuran 1 meter, biasanya berkisar 2,5 - 3 juta; saat ini melonjak pada kisaran 5 - 8,5 juta rupiah per ekor.
Kondisi ini terjadi karena dalam tiga tahun terakhir, Toraja dilanda keterbatasan ternak babi yang disebabkan oleh penyakit ternak babi bernama ASF. Ribuan babi mati, sulit mendapatkan bibit babi yang kemudian mendorong melonjaknya harga babi.
Tingginya harga babi secara tidak langsung memiliki korelasi dengan minat warga Toraja berbelanja petasan. Prinsipnya sederhana, membeli dan membakar petasan sama saja dengan membakar uang.Â