Jalur pejalan kaki tersedia di mana-mana. Warga menikmati aktifitas dari satu tempat ke tempat lain dengan jalan kaki. Kendaraan umum yang tersedia hanya bus dan beberapa taksi, dimanfaatkan hanya untuk perjalanan jauh dan lintas kota.Â
Di Indonesia sendiri, banyak daerah yang bisa menjadi tujuan slow living. Area Pulau Jawa memiliki banyak tempat dengan konsep hidup ala Suku Baduy bisa dicontoh.Â
Idealnya, slow living tak lepas dari pola hidup yang bisa berkontribusi untuk sustainable development goals (SDGS). Warga hidup nyaman dan santai, lingkungan sekitar menerima manfaatnya.Â
Tak ada budaya buang sampah sembarangan. Artinya manajemen pengolahan sampah benar-benar berdampak untuk kelestarian lingkungan.Â
Makan secukupnya dan tak berlebihan. Makanan sederhana tapi bergizi dan segar dari alam.Â
Sayuran hijau dari lingkungan sekitar rumah dihasilkan dari tanaman yang bebas zat kimia. Demikian pun dengan sumber buah-buahannya.Â
Kalaupun berbicara slow living di saat masih kerja, opsi work from home bisa jadi alternatif. Hidup santai di depan laptop dari emper rumah sambil menuntaskan pekerjaan.Â
Jadi, tak perlu terburu-buru kejar bus, taksi atau nyetir sendiri menembus kemacetan mengejar target pekerjaan.Â
Slow living tak membutuhkan target konsumsi uang yang berlebihan. Aktifitas fisik dominan, alam terlindungi dan sumber makanan dari lingkungan sekitar.Â
Setiap momen hidup, bermakna bagi penikmat slow living. Aktifitas berproses dengan maksimal dan makin bermanfaat ketika ditunjang gaya hidup yang eco friendly.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H