Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Sawah Melimpah, Kok Tak Bisa Swasembada Beras?

19 Desember 2024   07:33 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:09 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beras dan nasi adalah kebutuhan pokok sebagian besar penduduk Indonesia selain sagu dan umbi-umbian. Topografi wilayah Nusantara yang heterogen berupa dataran rendah dan pegunungan dengan sumber air mencukupi serta berada di daerah tropis telah membuat para pendahulu memulai kegiatan bertani padi.

Di mana-mana, pasti ada lahan padi, entah itu sawah atau ladang padi gogo di lereng-lereng perbukitan. Artinya, kreatifitas warga Indonesia dalam bertani padi tak perlu diragukan lagi. 

Hasil padi pasti ada sepanjang tahun. Khusus di daerah dataran rendah, hamparan sawah sangat melimpah. Layaknya permadani hijau. 

Di tengah melimpahnya sawah, negara kita masih merindukan kemandirian pangan, yakni status swasembada pangan, dalam hal ini swasembada beras. 

Pertanyaannya, mengapa pemerintah masih terus mengimpor beras dari luar negeri? Apakah memang ketersediaan lahan persawahan yang melimpah tak bisa memenuhi kebutuhan beras warga?

Persoalan makin pelik manakala kehadiran jutaan ton beras impor justru membuat jatuh harga gabah lokal. Petani domestik menjerit kerugian, beras lokal tak laku jual karena kalah dari beras impor yang diklaim lebih murah.

Kompleks persawahan di jalan trans Sulawesi, Pinrang-Mamuju. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
Kompleks persawahan di jalan trans Sulawesi, Pinrang-Mamuju. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Kembali ke lahan persawahan. Saya menyaksikan sendiri, sawah masih melimpah di daerah. Dari Toraja yang ada di pegunungan, lahan sawah tradisional tetap terpelihara dan terkelola dengan baik. Meskipun di area sekitar kota kabupaten, sawah-sawah mulai tergantikan bangunan rumah dan ruko.

Di wilayah dataran rendah, jalur trans Sulawesi Pinrang-Enrekang dan Pinrang-Enrekang, hamparan sawah yang luas sangat memanjakan mata. Menyerupai hamparan sawah yang ada di bagian iklan salah satu stasiun TV swasta nasional di tahun 1990-an.

Melihat persawahan ini, saya sendiri bertanya, "Sawah melimpah, kok tak bisa swasembada beras?" Secara khusus di Provinsi Sulawesi Selatan, saya sangat meyakini bahwa provinsi ini adalah salah satu lumbung beras nasional. Dari ujung timur hingga ke selatan, sawah tersedia dan panen berlangsung sepanjang tahun. Minimal 2-3 kali panen setahun untuk lahan persawahan dengan pengairan yang mencukupi.

Nah, sudah saatnya pemerintah benar-benar membuka mata untuk memanfaatkan ketersediaan lahan tanam padi ini dengan maksimal. Petani kita tak kekurangan beras. Utamakan hasil panen padi warga lokal sebelum mengambil kebijakan impor beras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun