Haruskah seorang guru PNS/ASN mengundurkan diri dari pekerjaan mulia sebagai pendidik karena alasan lingkungan kerja yang toksik?
Pertanyaan ini tak perlu saya jawab dan pembaca pun punya jawaban masing-masing.Â
Seminggu terakhir, dunia maya Indonesia, khususnya dunia per-TikTok-an sedang viral. Seorang guru muda potensial yang juga seorang guru konten kreator, Hendra Brudy, memilih pensiun dini atau resign dari profesinya.Â
Melihat riwayat karir yang diunggahnya di TikTok, ia masih sangat hijau berprofesi sebagai guru PNS yang bersertifikat pendidik.Â
Sontak saja, keputusannya pensiun dini menuai beragam komentar, baik dari followersnya maupun non-follower seperti saya.Â
"Sayang banget PNS-nya"
"Sayang banget sertifikasinya"
Beredar informasi secara luas di beranda Facebook yang diviralkan oleh banyak guru bahwa resign-nya pak guru Hendra Brudy dipicu oleh lingkungan kerja yang toksik.Â
Nah, sebelum membahas masalah resign, saya memulainya dengan mengenali kata toksik (toxic).Â
Toxic dapat diartikan sebagai racun. Ya, namanya racun, pasti dampaknya buruk dan merusak organ tubuh dan bisa berujung kematian.Â
Jika dibawa ke dalam lingkungan kerja, maka toksik bisa berarti pengaruh buruk. Lingkungan kerja yang toksik bisa hadir dalam berbagai bentuk. Pemicu utamanya adalah kecemburuan yang bermuara da tidak adanya sikap saling menghargai.Â
Sudah menjadi fakta umum bahwa kecemburuan selalu hadir di lingkungan sekolah. Cemburu karena guru lain berprestasi, naik jabatan, penghasilannya lumayan, dll.Â
Jika saya analisa dan dikaitkan dengan kondisi Hendra Brudy, bisa saja lingkungan  kerja yang toksik itu muncul karena lingkungan telah melihat bahwa pak guru Hendra telah sukses besar sebagai konten kreator di TikTok dan berpenghasilan luar biasa.Â
Tak bisa dipungkiri bahwa besarnya penghasilan pak guru Hendra dari TikTok telah membawanya keliling dunia dan bahkan mampu membeli rumah mewah versi dirinya.
Itu menurut analisa saya. Dan wajar dalam lingkungan sosial yang heterogen ke-toksik-an lingkungan kerja pasti ada. Tak ada manusia yang sempurna mengolah emosi dan pikirannya ketika melihat perubahan di sekitarnya.Â
Saya sendiri mengalaminya. Ketika kita sering mendapatkan undangan dan diutus mengikuti diklat, pasti ada rekan guru yang cemburu. Efek toksiknya hadir manakala cerita miring kita tanggapi.Â
Tetapi, toksiknya lingkungan kerja bisa diatasi. Bangun positive thinking dan percaya diri. Bangun komunikasi dengan pimpinan, guru senior, rekan kerja, dan keluarga.Â
Kalau memang lingkungan  kerja dianggap toksiknya sangat parah, bisa berkomunikasi dengan pemangku kepentingan di atasnya. Opsi mutasi tempat kerja bisa diambil.Â
Saya masih menerawang, seberapa parah toksiknya lingkungan kerja yang dimaksud pak guru Hendra yang membuatnya resign demi kesehatan mental dan fisiknya? Apakah toksik di lingkungan sekolahnya atau apakah karena tuntutan administrasi sebagai guru dan kewajiban masuk kelas yang banyak?Â
Postingan beliau di IG, FB dan TikTok sebenarnya sudah banyak menyinggungnya. Terkait kebijakan di sekolah dan sistem yang ada.Â
Di sisi lain, (mohon maaf, ini pemikiran saya), bisa saja pak guru Hendra memilih resign karena ia telah melihat bahwa ia lebih sejahtera sebagai konten kreator dan sekaligus sebagai influencer. Harus diakui, menjadi guru dengan status bersertifikat pendidik belum tentu membuat kita bisa keliling dunia dan mampu membeli rumah impian sendiri.Â
Keputusan pak guru Hendra resign dini sebagai guru PNS bersertifikat adalah hak asasinya sebagai manusia. Apapun alasan yang sebenarnya, hanya beliau dan sang Pencipta yang tahu.Â
Cara saya menghadapi lingkungan kerja yang toksik adalah fokus pada tugas pokok sebagai pendidik. Sasaran seorang guru adalah memanusiakan siswa yang dihadapinua. Apapun tantangannya, selama jiwa tulus mengabdi dan melayani, toksik di lingkungan kerja bisa pudar dengan sendirinya ketika praktik-praktik baik pendidikan itu telah membawa dampak bagi siswa dan sekolah.Â
Guru memiliki kemampuan yang melebihi kekuatan Superman. Jadi, ada masalah tentunya guru bisa bijak mengambil keputusan.Â
Dampak positif dan negatif bagi dunia pendidikan tentunya akan tetap ada dari viralnya keputusan pak guru Hendra yang resign.Â
Dari sisi positif, guru memiliki hak asasi untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Sementara dari sisi negatif, kemuliaan tugas  seorang guru bisa terpengaruh oleh gemerlapnya penghasilan dari dunia maya yang membuat guru bisa menomorduakan tugas pokoknya sebagai pendidik.
Di dunia anak-anak, secara khusus followers, tentu ada dari mereka yang kemudian terpengaruh dan mulai antipati pada profesi sebagai guru.
So, mari berpikir kritis dan mengambil keputusan bijak untuk dunia pendidikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H