Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Integritas dan Prestise UN, Cukup Kami Guru yang Paham

13 November 2024   19:08 Diperbarui: 15 November 2024   13:14 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengawasi UNBK beberapa tahun yang lalu. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ujian Nasional 2024 (UN) kembali berhembus untuk diberlakukan dalam pemerintahan baru di Republik ini. Ya, istilah ganti menteri ganti kebijakan pun kembali bergulir. 

Lagi dan lagi, dunia pendidikan tak bisa tidur nyenyak. Pejabat di pusat memutuskan kebijakan strategisnya, sekolah dan guru yang diberondong di bawah, siswa juga pada akhirnya yang jadi bulan-bulanan kebijakan.

Berbicara tentang UN, bagi saya selaku guru, tidak ada manfaatnya secara langsung kepada peserta didik. Untuk sekolah ya, pasti ada. Khususnya sekolah negeri. Nilai prestise sebuah sekolah akan cerah seiring predikat nilai rata-rata tertinggi UN. Kepala sekolah, pengawas sekolah hingga kepala dinas dan pemangku kepentingan di daerah ikut berbunga-bunga dengan predikat lulusan yang memperoleh nilai UN tertinggi.

Pertanyaannya, apalah nilai UN tersebut murni? Apakah proses ujiannya berintegritas?

Sebagai guru yang telah mengabdi selama lebih 15 tahun, suka dan duka penyelenggaraan UN telah saya alami, saksikan dan jalani langsung.

Integritas adalah hal pertama yang saya soroti. Seorang kepala sekolah negeri akan berjuang mati-matian agar sekolah yang dipimpinnya bisa lulus 100% dengan predikat nilai yang tinggi. 

Masih teringat jelas dalam ingatan saya ketika masih menjadi guru honorer pada tahun 2007-2009. Kala itu, UN offline menggunakan LJK masih menjadi hal wajib penentu ketulusan. 

Menjadi pengawas UNBK. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Menjadi pengawas UNBK. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada saat UN berlangsung, semua guru mapel dikarantina dalam satu ruang khusus untuk mengerjakan soal-soal ujian. Meskipun terdiri dari 5 paket, selalu ada celah bagi pihak sekolah untuk mendapatkan soal. Salah satunya melalui soal cadangan atau soal yang lebih. 

Apa kerja pengawas ruang, pengawas sekolah, pemantau dan pihak keamanan? Tak perlu saya jawab. Semuanya berlangsung sesuai settingan. Soal berhasil diperoleh, guru mapel yang sibuk mengerjakan soal. 

Mau tidak mau, saya ikut kebijakan sekolah. Maka, bukan siswa yang mengerjakan soal ujian, tetapi saya. Jika tiba waktunya jawaban sudah siap, maka panitia ujian akan mengantar daftar hadir pengawas ruang sambil membawa kunci jawaban.

Tahun 2008, saya bahkan merelakan honor 6 bulan tidak dibayar oleh satu SMK swasta karena saya menolak menjadi tim khusus mengerjakan soal UN. Pada akhirnya saya mundur dari sekolah itu.

Memasuki UN berbasis komputer, praktik melanggar integritas makin canggih pula. Kali ini ada calo khusus yang menjual kunci jawaban di setiap kabupaten. 

Satu sekolah ada siswa yang menjadi kaptennya. Tugas setiap kapten mendata siswa yang berminat membeli kunci jawaban. Satu mapel dihargai minimal Rp100.000 untuk semua paket.

Sekolah tahu praktik ini, tetapi oknum dalam sekolah pun terlibat. Mereka seolah acuh. Alasannya, kan siswa sendiri yang bayar. Sekolah yang dapat manfaatnya, lulus semua.

Inilah praktik tak berintegritas yang terjadi di ketika UN. Sekolah saya yang ada di kampung pun sangat mahir menjaga prestise meskipun melanggar integritas.

Selain itu, penyelenggaraan UN akan membuka kembali lembaran baru yang kelam. Di mana pada saat UN, terlalu banyak pengeluaran sekolah dari sisi biaya untuk membayar wartawan, LSM, anggota TNI, petugas kepolisian, pengawas dari Kemenag, pengawas dari dinas pendidikan, pegawai Pemda, dll. 

Kepala sekolah, ketua panitia dan bendahara UN paling sibuk dan paling pusing setiap kali masa UN karena selalu ada tuntutan membayar uang bensin/transport tamu tak diundang yang datang.  Tak semua juga meminta, tetapi rata-rata. 

Jika memang menteri pendidikan dasar dan menengah yang baru bersikeras untuk melakukan kembali UN, maka sebenarnya bukan terobosan. Itu adalah ungkapan sakit hati terhadap pendidikan selama 2 periode kepemimpinan Jokowi yang tanpa UN. 

Mengembalikan kebijakan Ujian Nasional adalah langkah mundur. Sekaligus program mengembalikan mereka yang dulu tak mendukung Kurikulum Merdeka untuk kembali ke metode masa lalu yang boleh jadi praktik kecil biang keladi KKN.

Secara pribadi, saya sangat merdeka ketika UN ditiadakan sebagai syarat ketulusan siswa. Harga diri guru sangat terinjak oleh praktik menjual kunci jawaban di masa ujian. 

Jujur, sangat nikmat menjadi guru ketika tak ada UN. Tak ada praktik calo kunci jawaban, dan siswa tak repot cari pemegang kunci jawaban.

Menjadi guru di salah satu sekolah Korea Selatan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Menjadi guru di salah satu sekolah Korea Selatan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Metode yang bisa ditiru adalah Korea Selatan. Ujian berlangsung manual di sekolah. Ujian berbasis kertas. 

Yang menjadi titik perhatian adalah ketika siswa akan lanjut ke SMA, SMK dan perguruan tinggi. Misalnya, beberapa guru perwakilan SMP di Korea Selatan akan meninjau sistim ujian masuk di SMA favorit (biasanya sekolah negeri). Setelah itu, mereka kembali ke sekolah menyiapkan para siswa secara psikis. 

Adapun persiapan menghadapi ujian telah dilakukan selama satu tahun di kelas 3 lewat bimbingan khusus di sekolah. Guru pembimbing bisa berasal dari guru di sekolah atau menggunakan guru private. Siswa secara fisik juga sudah siap sejak dini. Salahsatunya, mereka mengkonsumsi makanan yang tak mudah membuat mereka buang air kecil demi memaksimalkan ujian.

Ah...UN jangan dipaksakan. Pekerjaan rumah besar yang diemban guru di Kurikulum Merdeka yakni pendidikan karakter dan berprofil pelajar Pancasila belum membuahkan hasil. Biarkanlah itu berproses dulu untuk jangka panjang. Jika karakter sudah bagus, maka saya yakin guru dan siswa di Indonesia bisa seperti di Korea Selatan. Sangat menyenangkan mendidik anak-anak yang memang karakternya sudah terbangun sejak masa PAUD (secuil bocoran pengalaman mengajar di Korea Selatan).

Berikanlah kemerdekaan kepada sekolah untuk mengatur metode ujian akhir. Pada sisi lain, pemerintah wajib mendorong dan mengawal setiap guru agar benar-benar profesional dan paham tentang pekerjaan sebagai guru.

Jadi, tahan diri dulu untuk Ujian Nasional. Sebaiknya, mari identifikasi kekurangan Kurikulum Merdeka dan benahi lewat metode pembelajaran Deep Learning serta jangan lupakan pendidikan karakter. 

Saya ingat visi satu sekolah terbaik di Korea Selatan, "Sekolah yang Membahagiakan, Pembelajaran Menyenangkan dan Menumbuhkan Karakter." Sederhana tapi sangat berdampak. 

Seandainya saya bukan PNS, saya pasti menerima tawaran dari sekolah untuk tinggal mengajar lebih lama lagi.

Salam Merdeka Belajar

Kota Jeju, Korea Selatan, 13 November 2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun