Akhirnya, saya tiba juga di puncak. Sebuah tugu batu bertuliskan huruf hanguel menandai titik terakhir jalur pendakian. Ada teropong besar di puncak untuk menikmati area sekitar. Tetapi kabut tebal tak mengizinkan.
Di puncak inilah pendaki bisa menikmati keindahan Kota Jeju. Hanya saja, kabut menutupi seluruh area. Kali ini saya tak beruntung melihat seantero Kota Jeju.
Puncak Eoseungsaengak tetap mempesona meskipun pemandangan hanya kabut tebal.Â
Meskipun demikian, saya tetap bersyukur bisa mencapai puncak gunung keempat di Pulau Jeju.
Sebuah perjalanan yang memperkaya pengetahuan, pengalaman dan mengajarkan banyak hal terkait aktifitas menjaga dan merawat alam.
Angin, hujan dan cuaca dingin membuat saya hanya bisa bertahan 5 menit di puncak. Masih belum ada pendaki yang tiba ketika saya memutuskan untuk descending demi keselamatan.
Sekitar 100 meter turun, saya bertemu dengan satu pendaki, tetapi bukan rekan yang saya temui di bus. Tak lama kemudian menyusul dua orang lagi. Kaki hanya saling menyapa dalam bahasa Korea dan terus berlalu.
Perjalanan menuruni Eoseungsaengak lebih rumit. Jalur berupa anak tangga dari bebatuan membuat kaki lebih banyak menerima beban. Rasa pegal di lutut mulai menerpa.Â
Pukul 11:30 siang, saya tiba kembali di area parkiran. Sejumlah bus carteran kembali datang membawa rombongan pendaki mancanegara. Arah perjalanan mereka menuju ke Eorimok Hiking Trail.Â
Setelah istirahat sejenak saya meneruskan langkah saya menuju Eorimok Valley. Saya ingin melihat suasana asli musim gugur di sana. Saya juga penasaran akan sungai besar di bawahnya, apakah sudah berair atau masih kering.Â
Eorimok Valley merupakan salah satu objek yang paling viral setiap kali musim gugur tiba di Pulau Jeju.