Pasar tradisional memiliki fungsi dan daya tarik tersendiri bagi pedagang dan pembeli. Cikal bakal perpanjangan tangan perputaran ekonomi kerakyatan ini menjadi solusi bagi warga kelas menengah ke bawah untuk membeli segala kebutuhan hidup dengan harga terjangkau.
Selaras dengan keinginan pembeli, para pedagang pun merindukan suasana pasar yang ramah untuk menjajakan hasil pertanian, kerajinan, ragam hasil industri rumahan, dll.
Pasar tradisional pun memiliki daya pikat tersendiri bagi para wisatawan. Untuk mendapatkan kuliner dan cinderamata dengan harga murah, turis akan menjelajahi pasar tradisional.
Oleh karenanya, pasar tradisional seyogyanya memiliki penataan yang bisa merespon semua kebutuhan pengunjung dan pengguna.
Jika pasar tradisional tertata secara apik, misalnya lorong pejalan kaki yang lapang, lapak kaki lima yang teratur sesuai dengan jenis dagangannya, dan minim tumpukan sampah tentunya akan memberikan kenyamanan. Bukan hanya bagi calon pembeli tetapi juga memberikan manfaat bagi penjual itu sendiri.
Namun, apa jadinya pasar tradisional jika penataannya kurang bagus. Pedagang kaki lima tumpah ruah di mana-mana. Bahu jalan lingkar pasar yang seyogyanya sebagai tempat parkir bagi pembeli justru dipenuhi oleh penjual. Semakin lama semakin menutupi bahu jalan sementara maasih tersedia lapak kosong di dalam pasar itu sendiri.
Belum lagi kendaraan yang terparkir serampangan. Maka terjadilah perang urat saraf antara pengunjung pasar yang membawa kendaraan dengan para penjual.Â
Pada kondisi demikian, tentunya niat calon pembeli dan penjual pun secara tidak langsung terganggu harmonisasi mata, hati dan fakta di pasar.
Inilah kondisi yang sering ditemui di sejumlah pasar tradisional di Tana Toraja. Secara khusus pasar tradisional yang ada di Kota Makale, yakni Pasar Makale. Saat ini terjadi penumpukan pedagang kaki lima yang menjual aneka sayuran dan palawija lainnya yang memanfaatkan bahu jalan. Jalan semakin menyempit karena tenda-tenda lapak ikut menggunakan bahu jalan.
Jalan lingkar pasar kini sangat sempit. Hanya muat kendaraan untuk lewat dengan sangat pelan. Kondisinya terjadi setiap hari. Tak perlu ditanyakan pada hari pasar yang sebenarnya. Setengah jalan lingkar pasar bahkan terlihat seolah tertutup karena penuh oleh penjual.
Adu mulut antara pengunjung pasar dengan pemilik lapak sering terjadi. Berimbas pula pada adu mulut antara sesama pengunjung pasar karena dianggap menghalangi jalan. Padahal, faktanya adalah tak ada tempat bagi pengendara motor dan mobil untuk meminggirkan kendaraan untuk membeli.
Dalam kondisi seperti ini, pembeli pun terdampak. Bagi pejalan kaki tentu tidak masalah. Tetapi bagi mereka yang membawa kendaraan, kondisi pasar yang boleh dikata semrawut akan membuat mereka berpikir untuk datang kedua kalinya.Â
Jika pembeli memilih belanja di pasar tumpah pinggir jalan, pastinya akan berdampak pada omzet penjualan. Dampak terjauhnya adalah banyak produk dagangan di pasar yang kadaluwarsa dan rusak tak terjual.
Sehingga, perlu ada pemikiran yang bijaksana dari pedagang dan pengelola pasar tradisional untuk sama-sama menciptakan kondisi yang nyaman dalam lingkungan pasar.Â
Demikian pula dengan mereka para pemilik kendaraan agar tidak memarkir kendaraan serampangan di wilayah pasar.
Perlu dipertimbangkan pula bahwa teknologi start-up sekelas Grab Food mulai merambah daerah. Aplikasi belanja online kebutuhan konsumsi harian kini ada di daerah, termasuk Tana Toraja. Aplikasi start-up pengantaran paket online karya warga lokal telah mulai dimanfaatkan.Â
Ini adalah dampak dari mulai ogahnya pembeli masuk pasar. Waktu yang dihabiskan lebih lama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H