Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Eorimok Hiking Trail, Jalur Menuju Surga Kecil di Pulau Jeju (Selesai)

6 Oktober 2024   05:09 Diperbarui: 6 Oktober 2024   12:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toilet di Witse Oreum Shelter. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada jalur Eorimok Hiking Trail fase terakhir sejauh 1,8 km menuju Witse Oreum Shelter, vegetasi tanaman semakin jarang. Hanya didominasi oleh cemara dan beberapa tumbuhan semak. 

Sisanya adalah rerumputan khas pegunungan Hallasan. Tanaman berupa bunga juga masih meninggalkan jejak. Hanya saja semua tanaman yang ada sudah mulai menguning, kecuali cemara.

Jejak musim dingin pada tahun-tahun sebelumnya masih tertinggal dengan jelas. Batang-batang pohon cemara berupa kerangka putih lengkap dengan cabang-cabangnya memberikan sensasinya sendiri. Masih berdiri kokoh diantara kokohnya saudara mereka yang berdaun hijau dan mulai bersiap diri menyambut musim dingin di bulan Desember hingga Maret.

Beragam jenis bunga anggrek menyapa saya dari berbagai tempat. Rata-rata mereka bersolek diantara bebatuan vulkanik. 

Suara gemerisik dedaunan dibalik tebalnya pohon cemara dan rerumputan menandakan adanya pergerakan hewan. Oh...ternyata ada rusa kecil yang malu-malu menampakkan wajahnya dan langsung tenggelam di balik semak disertai kabut yang kembali datang tiba-tiba membawa tetesan air hujan.

Jalur hiking makin nyaman dilewati. Papan kayu tertata rapi. Meskipun jalur sudah 80% landai, tetapi jalur lurus seperti seekor naga meliuk-liuk dari kejauhan mulai dari titik 1.600 mdpl justru membuat tantangan bertambah. Perjalanan menyelesaikan 1,8 km terakhir tak terasa mengundang rasa lapar. 

Saya istirahat sejenak pada satu tempat terbuka dengan bebatuan dan satu sumber air bersih. Hanya saja, air tersebut tak layak minum sesuai dengan petunjuknya. Hanya bisa digunakan untuk cuci tangan dan muka. 

Air minum segar khas pegunungan Hallasan yang saya ambil di titik 1.500 mdpl menyejukkan kerongkongan. Dua keping kripik ketan masuk ke perut ditambah sebiji telur rebus. Kulit dan bungkus snack saya masukkan ke dalam saku celana. 

Kurang lebih 10 menit saya beristirahat sambil menatap keindahan bentangan alam di sekeliling saya. Dalam hati saya berujar, "Saya akan kembali lagi ke sini di puncak musim gugur sebelum kenbali ke Indonesia."

Puncak musim gugur biasanya jatuh pada akhir Oktober hingga awal November. Permadani kuning keemasan dari vegetasi yang memadati bentangan alam di puncak pegunungan ini tentu akan sangat indah.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Inilah bagian dari surga kecil di puncak Pulau Jeju. Saya mengatakannya demikian karena memang keindahannya tak bisa diucapkan dengan kata-kata. 

Beberapa pendaki wanita pun tak benti-hentinya mengambil dokumentasi. Meskipun mereka jauh di depan saya, tetapi saya bisa menyimpulkan bahwa mereka menikmati suasana surga kecil ini.

Keanggunan surga kecil ini makin sempurna manakala awan tiba-tiba datang menutupi alam sekitar dalam waktu yang singkat. Gelap sesaat, lalu cerah kembali. Mirip latar drama dan film kolosal Korea.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Bentangan alam yang semakin luas dengan menyisakan beberapa puncak pegunungan menambah indah pandangan mata. Sejauh mata memandang, hamparan permadani kekuningan memanjakan mata.

Tambahan pula, cuaca dingin justru membuat badan sejuk. Demikian pula segarnya udara yang masuk ke dalam tubuh. Serasa minum air mineral.

Terdapat satu sungai kecil yang membelah jalan. Bebatuan dibiarkan menjadi jalan setapak. Tak ada jembatan. Ini menambah sensasi pengalaman bagi pendaki, termasuk saya. 

Sungai kecil ini sangat menawan dengan kumpulan bebatuan vulkanik hitam. Kuningnya rerumputan di kedua sisi memberi keindahan tersendiri.

Bisa dibayangkan bagaimana indahnya aliran sungai dengan jeram kecil ini ketika musim dingin berakhir. Lelehan air dari salju yang mencair tentu akan mengaliri sungai yang sementara mengering. Hanya kolam-kolam kecil dengan air bening yang menandakannya memiliki jejak sebagai sungai.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setelah menempuh perjalanan sejauh 1,5 km dari Mansedongsan Hill, saya tiba di Eorimok Hiking Trail Entrance di Witse Oreum Shelter. Jalur trekking berupa papan kayu menjadi penyambung masuk pintu utama shelter. 

Saya kembali terpana. Berhenti sejenak menikmati suasana di sekitarnya. Permadani kekuningan di mana-mana sejauh mata memandang.

Petunjuk arah menuju Eorimok Hiking Trail di Witse Oreum Shelter. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Petunjuk arah menuju Eorimok Hiking Trail di Witse Oreum Shelter. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Nafas panjang saya lepaskan sejenak. Sudah hampir dua jam saya berjalan kaki dari Eorimok Valley. Jam tangan menunjukkan hampir pukul 13 siang. Beruntung pula, cuaca yang tak menentu sesekali menjadi penyelamat saya dari teriknya matahari yang tak pernah terlihat sama sekali sepanjang perjalanan saya.

Di sekeliling Witse Oreum Shelter, jangan tanya bagaimana suasananya. Surga kecil di atas Pulau Jeju. Speechless! Bentangan alam yang sangat memukau dengan lereng-lereng pegunungan menyerupai punggungan naga mengelilingi Witse Oreum Shelter.

Jika bukan karena pembatasan waktu di puncak dan kewajiban harus turun sebelum pukul 17:00, saya tentunya akan tinggal berlama-lama di sini untuk menikmati keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa di Negeri Ginseng.

Rest area Witse Oreum Shelter dengan latar puncak Baengnokdam. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Rest area Witse Oreum Shelter dengan latar puncak Baengnokdam. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sekelompok burung gagak kembali menyambut saya. Mereka tampak sangat akrab dengan semua pengunjung yang datang. Dengan santainya burung-burung yang sering dianggap sebagai simbol kematian ini melenggak-lenggok diantara para pendaki yang tengah istirahat. 

Burung gagak ini justru menambah sensasi keindahan. Suara sumbang mereka berbaur dengan kencangnya angin berhembus disertai dingin yang menusuk kulit.

Puluhan pendaki tengah bersantai ketika saya menjejakkan kaki di teras-teras papan kayu di halaman shelter. Sejumlah anak-anak usia TK hingga SD juga bersama dengan orang tua mereka. Penuh semangat di tengah dinginnya cuaca yang menginjak 14 derajat celcius.

Mereka sibuk masing-masing dengan gayanya  sambil minum air atau sekedar menikmati camilan dan mie siram yang mereka bawa.

Lokasi sekitar shelter sangat bersih, tak ada sampah dan sangat sejuk di bawah langit yang mendung. Angin kencang sesekali menembus kulit. 

Pemandangan gunung dengan puncak Baengnokdam sudah terlihat dari Witse Oreum Shelter. Sayang sekali, jalur menuju puncak tertinggi gunung di Korea Selatan ini telah ditutup dan ditandai dengan zona merah sebagai "Summit Restricted Areas," demi memulihkan dan melindungi vegetasi di sekitar jalur.

Namun demikian, Eorimok Hiking Trail telah menampilkan suasana surga kecil yang sangat mempesona. Siapapun yang mendaki tempat ini akan terpukau oleh pemandangan dan bentangan alam.

Toilet di Witse Oreum Shelter. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Toilet di Witse Oreum Shelter. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Di Witse Oreum Shelter, saya ikut memanfaatkan toilet yang tersedia. Sepanjang jalur pendakian dari Eorimok Valley, tak ada toilet yang disiapkan dan pendaki tidak diperkenankan buang air di sembarang tempat. 

Luar biasa, ada toilet kategori mewah, bersih dan tak berbau sama sekali di lereng gunung. Tersedia sekitar 6 bilik toilet dan 6 tempat buang air kecil buat laki-laki dan jumlah bilik toilet yang sama untuk perempuan.

Sekitar 10 menit saya berhenti di satu-satunya rest area dengan fasilitas shelter mendekati puncak Gunung Halla, Witse Oreum.

Meskipun jaringan telepon dan internet tetap ada dan sinyalnya kuat, fasilitas internet berupa WiFi gratis juga tersedia di shelter ini. Keren!

Setelah beristirahat sejenak, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Halla, Witse Oreum melewati jalur Yeongsil Hiking Trail.

Witse Oreum dikenal sebagai puncak tertinggi kedua di Pulau Jeju setelah Baengnokdam. Keindahan puncak legendaris dengan danau vulkanik itu telah tampak dengan jelas. 

Sekali lagi, pemandangan terindah yang pernah saya lihat dalam hidup saya telah saya saksikan sejak titik 1.500 mdpl di salah satu bagian Hallasan National Park ini.

Sampai di Witse Oreum Shelter ini, 10 ribu langkah telah saya buat, tepatnya 12 ribu langkah. Ada semangat baru yang kini mulai tinggal dengan baik dalam jiwa saya, yakni meluangkan waktu rutin melakukan aktifitas fisik setiap hari. 

Sebuah pembelajaran positif yang saya dapatkan selama berada di Kota Jeju. Konsep ini sesuai dengan salah satu topik pilihan di Kompasiana dengan tagline 10 ribu langkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun