Beraktifitas di kota Seoul, Korea Selatan sangat kontras dengan kota-kota atau bahkan pedesaan di Indonesia. Perjalanan saya ke Korea dalam rangka mengikuti program pertukaran guru Indonesia-Indonesia (Indonesia-Korea Teacher Exhange 2024) telah memberi banyak pengalaman berharga akan pentingnya jalan kaki.Â
Di negeri sendiri, kemacetan sangat mudah dijumpai di mana-mana. Di kota besar hingga kota kecil antrian kendaraan bisa dijumpai dengan mudah. Namun, di kota Seoul antrian karena macet jarang ditemui.Â
Iring-iringan kendaraan mengantri hanya ada di lampu merah dan halte bus. Kejadian ini hanya terjadi karena bus tidak pernah saling mendahului untuk menjemput penumpang. Sudah tertata dan teratur sesuai dengan nomor bus di mana nomor bus ini menandakan rute.Â
Sebelum ke Korea, sebagian besar aktifitas harian dan pekerjaan dilakukan dengan menggunakan kendaraan. Bahkan untuk sekedar belanja garam di rumah tetangga dengan jarak 50 meter kadang harus berkendara motor.
Lain lubuk lain ikannya. Ungkapan inilah yang tepat untuk mewakili pengalaman berharga saya bersama teman-teman peserta IKTE dari Indonesia.Â
Secara umum konsep smart city lewat pemakaian transportasi di kota Seoul telah diterapkan di kota Jakarta. Tersedianya transportasi bus kota telah mengajak warga Seoul untuk banyak jalan kaki. Perpindahan dari halte bus satu ke yang lainnya menuntut banyak aktifitas jalan kaki.Â
Demikian pula ketika hendak naik kereta api. Kita wajib jalan kaki hingga ratusan meter untuk bisa pindah jalur.Â
Dalam perjalanan kami kembali dari kantor APCEIU-UNESCO menuju Hotel Ramada Seoul Sindorim, kami jalan kaki. Dengan jarak kurang lebih 600 meter, aktifitas jalan kaki terasa singkat saja. Seni jalan kaki di kota Seoul ini bagi kami adalah pelajaran berharga saat kembali ke Indonesia.Â