Yunus Marthen Baso, demikian namanya. Â Ia adalah seorang pendeta Gereja Toraja. Tiga tahun menjelang masuk masa purnabakti ia tetap tekun dan terus bergerak pada satu bidang yang selama ini ditekuninya secara otodidak. Uniknya, ia banyak dikenal warga Toraja bahkan warga di luar Toraja bukan karena profesi sebagai pendeta.Â
Pendeta dengan ciri khas kumis tipis dan berkacamata ini populer dengan dua panggilan. Panggilan pertama adalah pendeta Baso'. Sementara panggilan kedua adalah yang paling mudah dikenal warga, "pandita bai." Pandita (pendeta) dan bai (babi). Nama beken inilah yang boleh jadi membuat pendeta Baso' telah melanglang buana dari kampung ke kampung untuk menyalurkan keahlian khusus yang dimilikinya terkait ternak, secara khusus ternak babi.Â
Virus demam babi Afrika atau yang selama ini populer dengan istilah African Swine Fever (ASF) telah mematikan ratusan ekor babi di berbagai wilayah Indonesia. Tak terkecuali kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Sudah ribuan ternak babi lokal orang Toraja yang turut menjadi korban keganasan virus ASF.Â
Serangan virus ASF pun membuat harga babi di Toraja melonjak drastis. Rata-rata harga babi naik antara 20 hingga 90% dari harga normal.Â
Tingginya harga babi ini diakibatkan oleh keterbatasan jumlah babi yang beredar di tengah masyarakat oleh karena babi dari luar Toraja sudah tidak diizinkan untuk masuk ke Toraja. Hal ini dimaksudkan untuk menekan peredaran virus ASF.
Di tengah kegamangan warga Toraja dalam beternak babi, pendeta Yunus Marthen Baso tiada henti bergerak ke berbagai tempat di Toraja untuk melakukan upaya pencegahan dan pengobatan terhadap babi warga yang sakit.Â
Selain menyuntik babi-babi yang kena demam, pendeta Baso juga melakukan edukasi kepada warga yang dikunjunginya. Hal ini ia maksudkan agar warga setempat bisa mandiri dalam melakukan pencegahan, pengobatan dan perawatan ternak.Â
Masukan model kandang babi yang baik pun ia lakukan. Ia bahkan mengajak warga dari luar komunitas Gereja Toraja untuk membangun kandang babi pemberdayaan murid Pusat Pengembangan Anak (PPA) di Salubarani.
Jadi, secara umum pendeta Baso tidak menjadikan keahlian khususnya tersebut sebagai profesi untuk menghasilkan pundi rupiah. Ia tidak meminta bayaran dan mematok tarif. Ia melakukan pelayanan pengobatan ternak dengan gratis. Ia hanya terdorong untuk menyelamatkan ternak warga. Kalaupun ada yang memberinya uang lelah menyuntik puluhan babi, ia sekedar meminta biaya pengganti obat yang dibawanya.