Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Es Tontong dan Es Karruk-Karruk, Rasanya Belum Ada Tandingan

2 Agustus 2024   12:15 Diperbarui: 3 Agustus 2024   10:31 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara tentang es krim tradisional, jujur saja kenikmatannya belum bisa tergantikan oleh kehadiran ratusan varian es krim di zaman modern. Keunggulan es krim jadul adalah bahan dasar yang alamiah dan proses pembuatannya yang masih tradisional. 

Masih jelas dalam ingatan saya, dua jenis es yang tiada bandingnya dari segi rasa. Tahun 1992 saat duduk di bangku SD, tidak banyak pilihan es di Tana Toraja. Setiap hari hanya satu gerobak dorong yang melintasi kampung. 

Sebagai informasi, kehadiran es di Toraja dipelopori oleh para perantau dari tanah Jawa. Mereka berdomisili di wilayah Kabupaten Enrekang. Setiap hari, mereka rutin menjelajahi jalan trans Sulawesi sejauh kurang lebih 40 km pergi-pulang dengan gerobak dorong menjajakan es. Kondisi jalan saat itu masih berlubang, kecil dan berdebu.

Sembari bermain di pinggir sungai yang masih alami sepulang sekolah, jauh dari arah selatan terdengan bunyi gong kecil dipukul-pukul. Itulah tanda gerobak es potong yang populer kami sebut es tontong akan segera lewat. 

Es tontong versi Toraja tahun 1990-an ini berupa es lilin setinggi kurang lebih 30 cm. Kemudian dipotong-potong menjadi empat bagian. Setiap potongan ditusuk dengan lidi dari bambu. Harga sepotong es tontong kala itu Rp. 50 saja. Oleh karena uang Rp. 25 masih berlaku, maka es seharga Rp. 50 masih bisa dibagi dua lagi. 

Sensasi es potong tontong ini sudah dimulai ketika mas penjual dari pulau Jawa mulai memotongnya di gerobak. Tetesan warna gula merah bersama percikan es batu seolah mengajak mulut untuk segera meronta mencicipinya. 

Warna es satu saja. Menyerupai warna baju pramuka. 

Es menjadi makanan mahal di kampung di awal tahun 1990-an. Warga belum mengenal kulkas oleh karena jaringan listrik belum tersedia.

Uniknya lagi, es potong ini tidak mudah meleleh. Inilah alasannya sehingga kami menyebutnya es tontong. Tontong artinya tidak berubah. Jadi, istilah tontong bukan berasal dari bunyi gong tong-tong. 

Rasa manisnya tiada duanya. Saya yakin, saat itu belum ada pewarna yang digunakan selain kombinasi air dan gula merah. Inilah yang membuatnya sangat legendaris hingga kini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun