Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Guru Penggerak dan Guru Bersertifikat Pendidik Kalah Kreatif Dari Penjual Perangkat Ajar

20 Juni 2024   10:27 Diperbarui: 20 Juni 2024   18:42 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemdikbudristek telah mendorong terbentuknya Komunitas Belajar (Kombel) di setiap sekolah. Kombel memiliki beragam tujuan yang positif bagi pegembangan karir dan profesionalitas guru. Salah satu tujuan guru mampu berkolaborasi merancang perangkat ajar di sekolahnya. 

Perangkat ajar yang wajib dimiliki oleh guru untuk menunjang proses pembelajaran dapat berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Modul Ajar. 

Di tengah upaya memerdekakan guru membuat perangkat ajar sendiri, suatu hari, pada pelaksanaan kegiatan komunitas belajar  di sekolah, saya terhenyak oleh satu peristiwa di mana guru-guru penuh semangat mengerumuni seorang laki-laki di ruang guru. Dari penampilannya, saya bisa menyimpulkan bahwa laki-laki tersebut bukanlah seorang guru. 

Mengapa laki-laki tersebut sangat digandrungi oleh guru-guru bahkan mengalahkan popularitas pesohor K-Pop, Lee Junho? Karena ia datang menawarkan dan menjual perangkat ajar Kurikulum Merdeka. Ya, kegiatan penyusunan perangkat ajar berupa Alur Tujuan Pembelajaran dan RPP di aula sekolah pun terganggu.  Nampak di antara mereka yang berkerumun penuh semangat adalah Guru Penggerak dan Guru Bersertifikat Pendidik alias guru profesional. 

Satu perangkat ajar dalam CD atau file untuk tiap tingkatan kelas dijual Rp. 100.000. Jadi, kalau satu guru mengajar tiga tingkatan, maka membayar Rp 300.000. Ya, memang murah sih. Tak seberapa. Tapi, mengingat peran sebagai guru dan pendidik, masa iya mau takluk sama penjual perangkat ajar. 

Wajarlah barangkali guru-guru mencari perangkat ajar instan. Mereka tak mau repot lagi membuat RPP orisinil. Yang penting bisa memenuhi tuntutan sekolah terkait pemenuhan dokumen perangkat ajar untuk Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). Padahal, semua kebutuhan perangkat ajar telah tersedia di Platform Merdeka Mengajar (PMM). Guru-guru tinggal mengunduh perangkat ajar sesuai kebutuhan mereka.

Saya pun segera teringat wajah laki-laki tersebut. Ia pernah datang beberapa waktu lalu menjual perangkat ajar Kurikulum Merdeka setelah pandemi Covid-19. 

Cek dan ricek, ternyata isi dari perangkat ajar yang dijual tersebut sumbernya dari PMM. Selain itu, dokumennya pun banyak yang diunduh dari website-website penyedia perangkat ajar gratis. Wah, kalah kreatif guru penggerak dan profesional dari "pengusaha" perangkat ajar. Hehehe.

Sekilas mendengar celotehan guru dan dirinya, ia menyampaikan bahwa ia telah menjadi langganan guru-guru di sejumlah kabupaten. Perangkat ajar yang dijualnya bukan hanya menyasar sekolah-sekolah di kampung, melainkan masuk di sekolah-sekolah model dengan akreditasi unggul di perkotaan.

Pertanyaannya, kok bisa ya guru-guru dengan label Guru Penggerak dan Guru Profesional bersertifikat pendidik takluk kepada penjual perangkat ajar hanya demi membuat dokumen kegiatan pembelajaran secara instan?

Dengan demikian, para calo penjual perangkat ajar jauh lebih hebat dari guru penggerak dan guru profesional. Problematika guru juga butuh hal instan tak bisa memang dihindari. Tugas guru-guru yang sejauh ini "menumpuk" secara administratif untuk pemenuhan upload berkas di PMM membuat guru lebih doyan memilih jalan tol dan instan, membeli perangkat ajar. Apapun modelnya, mau tebal, tipis, buku paket tidak sesuai, yang penting ada perangkat ajar secepatnya. 

Sesuai dengan pemaparan Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemdikbudristek, Yogi Anggraena, sejak awal Kurikulum Merdeka dirancang dan diterapkan dengan tujuan memerdekakan guru dari administrasi pembelajaran. Ia pun mendorong guru-guru untuk cukup menggunakan RPP satu lembar saja jika tak mampu membuat modul ajar. Seperti diketahui, modul ajar itu berlembar-lembar lengkap dengan beragam lampiran. Sementara, RPP cukup memuat minimal empat elemen, yakni Tujuan Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Asesmen Pembelajaran dan Media Pembelajaran. Sederhananya, guru wajib membuat tujuan pembelajaran yang diturunkan dari Capaian Pembelajaran. Dari tujuan pembelajaran tersebut dibuat langkah-langkah kegiatan pembelajarannya hingga asesmen pembelajarannya. 

Jika ingin benar-benar profesional dan membuat dampak positif pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing, memang harus belajar membuat perangkat ajar sendiri. Misalnya, tujuan pembelajaran seyogyanya selaras dengan kebutuhan belajar peserta didik setempat. Harus diakui bahwa memulai sesuatu itu berat. Berat bukan karena prosesnya, tetapi berat karena niat dan motivasi.

Presentasi RPP dari guru-guru Bahaasa Jerman di sekolah. Sumber: dokumentasi pribadi.
Presentasi RPP dari guru-guru Bahaasa Jerman di sekolah. Sumber: dokumentasi pribadi.

Bagi saya, inilah tantangan besar sebagai guru penggerak dan juga selaku guru dengan label profesional. Bagaimana secara bertahap mengubah pola pikir rekan sejawat di sekolah untuk mau memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk menghasilkan karya orisinil perangkat ajar. 

Saya mengapresiasi dua rekan guru bahasa Jerman di sekolah saya. Mereka mampu membuat Alur Tujuan Pembelajaran sendiri lengkap dengan RPP yang mencirikan karakteristik mapel bahasa Jerman dan karakteristik peserta didik. Karya mereka orisinil dengan menekankan proses belajar yang bersumber dari hasil penentuan tujuan pembelajaran.

Kehadiran para penjual perangkat ajar hingga ke pelosok sebenarnya karena merespon kebutuhan instan guru. Mereka cerdik melihat peluang usaha di bidang kurikulum. Kira-kira demikian ya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun