Kuliah adalah proses pendidikan yang ditempuh oleh pelajar di institusi pendidikan tinggi dalam kurun waktu tertentu. Kuliah pada umumnya dimaknai sebagai pendidikan untuk mendapatkan gelar sarjana.Â
Predikat D2, D3, D4, S1, S2, S3 dan sederet titel keahlian lainnya sesuai dengan bidang keilmuan yang dipelajari adalah salah satu syarat umum bagi seseorang untuk bisa mendapatkan sebuah pekerjaan, secara khusus di Indonesia. Tanpa ijazah resmi dan titelnya, sulit memperoleh pekerjaan.Â
Kemampuan skill dan tingkat pendidikan masih menjadi dua hal yang sedikit banyak bertolak belakang dalam hal penerimaan karyawan dan pegawai.Â
Ijazah S1, misalnya, adalah syarat standar untuk bisa melamar pekerjaan, entah karyawan di perusahaan maupun sebagai calon pegawai negeri. Kalaupun masih ada lowongan pekerjaan yang menerima ijazah SMA/SMK, biasanya karena membutuhkan keahlian khusus atau sistim kerjanya kontrak paruh waktu.Â
Intinya, status sebagai pekerja tidak tetaplah yang membuat sejumlah lulusan SMA/SMK bisa langsung diterima. Di samping itu, ada perusahaan seperti bank tertentu yang menerima karyawan lulusan SMA/SMK yng selanjutnya mereka kuliahkan. Jadi, ada program kerja sambil kuliah.Â
Lalu, masih relevankah kuliah atau wajibkah kuliah, khususnya di Indonesia di tengah polemik uang kuliah yang menukik tajam? Jawaban saya untuk saat ini, YA. Mengapa? Sistem pendidikan kita masih menganut sistem berjenjang dari pendidikan dasar menuju S1. Tradisi masyarakat masih melekat bahwa pendidikan itu sah selesai ketika menjadi sarjana. Sehingga, tradisi kuliah dan menguliahkan anak masih bertahan dan bahkan menjadi primadona.Â
Oleh karena kuliah masih menjadi tradisi umum warga Indonesia, maka kuliah juga menjadi wadah mengangkat derajat keluarga. Prestise sebuah keluarga kadang dinilai secara sosial dari tingkat pendidikan anak-anaknya. Makin tinggi pendidikan anak, makin tinggi pula penghargaan secara sosial dari lingkungannya.Â
Hingga saat ini, para lulusan SMA dan bahkan SMK masih berlomba-lomba untuk bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Lolos ke salah satu PTN favorit nantinya membawa kebanggaan tersendiri bagi mereka. Tanpa mempertimbangkan besaran uang kuliah tunggal (UKT), yang penting bisa lolos dulu.Â
Kuliah dalam bingkai tradisi merupakan sebuah simbiosis mutualisme rutin setiap tahun. Ada seleksi masuk PTN berarti menghidupkan ribuan bimbingan belajar. Bak jamur di musim hujan, lembaga-lembaga penyedia bimbel susah mulai menyerbu sekolah sejak bulan November.Â
Bukan hanya bimbel, pengalaman saya selalu guru SMA, kampus-kampus pun ramai-ramai datang mempromosikan diri ke sekolah. Beragam strategi mereka siapkan demi mendapatkan  calon mahasiswa baru.Â
Tradisi kuliah yang masih kuat ini pula yang turut menjadi bagian ekosistem kampus. Jika kuliah tidak wajib lagi, maka akan berdampak pada kurangnya mahasiswa di perguruan tinggi. Mahasiswa minim berpengaruh pada roda perekonomian kampus. Gaji dosen bisa saja tertunggak dan tunjangan profesi dosen tak terbayarkan karena tak ada mahasiswa.
Dalam pikiran saya, suka tidak suka, sistem pendidikan kita masih bermuara pada memenuhi kebutuhan bangku kuliah di perguruan tinggi. Belum mengacu secara khusus untuk memberikan skill.Â
Contoh sederhana, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah menengah atas saat ini, secara umum masih setali tiga uang dengan program studi yang ada di perguruan tinggi. Adapun lulusan SMK yang sebenarnya bisa langsung bekerja, tetap melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Musababnya adalah banyak perusahaan yang menerima pekerja dengan ijazah minimal strata 1.
Dilihat dari sudut pandang nilai prestise, semakin banyak lulusan SMA/SMK di suatu daerah yang masuk ke perguruan tinggi negeri, maka pemimpin di sekolah, kabupaten dan provinsi dianggap berprestasi. Nah, inilah salah satu juga penyebab tradisi kuliah itu masih familiar.Â
Proses kuliah untuk menghasilkan lulusan dengan tingkat pendidikan dibarengi skill mumpuni sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari program pembangunan jangka panjang sebuah bangsa. Kemajuan pembangunan identik dengan tingkat kemajuan pendidikan.Â
Dengan kuliah setinggi-tingginya, turut mendorong meningkatnya indeks pembangunan manusia. Hanya saja, seiring dengan tingginya animo lulusan sekolah menengah untuk melanjutkan studi di bangku kuliah, animo pengelola kampus pun mulai tinggi dengan  menaikkan biaya kuliah.Â
Memang harus diterima bahwa pemerintah hanya memberikan biaya "subsidi" untuk jenjang pendidikan dasar 12 tahun melalui skema dana BOS. Sementara perguruan tinggi mengelola pembiayaan secara mandiri.Â
Keluhan akan tingginya UKT menandakan bahwa warga butuh kuliah. Pendidikan belum terhenti saat tamat SMA/SMK. Peluang kerja pun masih minim.Â
Kuliah tidak wajib karena masuk kategori tersier belum mampu menjawab tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri, yakni menjadi manusia seutuhnya yang bisa menjadi insan mandiri.Â
Mungkin inilah sederet masalah yang masih harus dicari formula yang tepat sehingga konsep penerapan Kurikukum Merdeka dan Kampus Merdeka yang selama ini menjadi salah satu motto dan tagline Kemdikbudristek. Perlu ada kesatuan visi antara penyerap angkatan kerja dengan kebijakan pemerintah terkait lulusan yang kompeten untuk masuk dunia kerja nantinya. Dengan demikian, pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan dunia kerja bisa terjalin sinergi yang tepat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H