Pendampingan Individu (PI) kepada Calon Guru Penggerak (CGP) pada Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) adalah salah satu tugas pokok yang wajib dijalankan oleh seorang Pengajar Praktik (PP). Pada PGP Angkatan 1 hingga 4 yang PI berlangsung selama 9 kali. Hal ini terjadi karena durasi PGP saat itu berlangsung selama 9 bulan.
Memasuki PGP angkatan 5 s.d. angkatan 10, durasi pendidikan tinggal 6 bukan. Sehingga pendampingan individu pun hanya berlangsung 6 kali.Â
Pendampingan Individu wajib dilakukan ke sekolah sasaran di mana seorang CGP menjalankan tugasnya sebagai guru. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tindak lanjut dan aksi nyata dari materi-materi yang telah dipelajari CGP di secara mandiri di LMS dan secara kolaboratif melalui ruang kolaborasi dan sesi belajar bersama instruktur.Â
Saya diberikan amanat oleh Kemdikbudristek melalui Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Sulawesi Selatan untuk menjalankan peran sebagai Pengajar Praktik pada PGP Angkatan 9 Kabupaten Tana Toraja. Sebelumnya, saya telah menyelesaikan PGP pada Angkatan 4 dan lulus sebagai Guru Penggerak.Â
BBGP Sulawesi Selatan memberikan saya 5 CGP untuk didampingi selama pendidikan 6 bukan yang berlangsung sejak bulan September 2023 hingga bulan April 2024. Kelima rekan CGP ini tersebar pada lokasi yang berbeda.Â
Dua CGP mengajar pada SMA/SMK yang berlokasi di pinggir kota Makale. Lalu, dua CGP berikutnya mengajar pada SD dengan jarak sekitar 35 km dari kota kabupaten. Lokasi keduanya berada di ibu kota kecamatan. Satu CGP lainnya mengajar di SMP yang lokasinya ada di wilayah terpencil dan terisolir.Â
Kegiatan PI untuk CGP Angkatan 9 telah berakhir pada minggu pertama April 2024. Secara khusus PI yang saya jalankan kepada CGP Kristian Betteng di UPT SMPN Satap 2 Simbuang, Lembang (desa) Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang memberikan banyak pengalaman berharga. Suka dan duka saya lalui selama 6 kali perjalanan PI ke sana.
Sudah puluhan artikel tentang cerita perjalanan saya ke Simbuang telah tersimpan di Kompasiana. Pada tulisan ini, saya fokuskan pada catatan refleksi perjalanan PI selama enam kali ke Simbuang.Â
Rasa penasaran akan keindahan dan keunikan budaya masyarakat Simbuang masih terus memotivasi saya untuk kembali lagi ke wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. PI memang telah berakhir, tetapi niat untuk kembali sangat besar.Â
Kecamatan Simbuang adalah lokasi yang paling tidak diinginkan oleh seseorang ketika ia ditempatkan sebagai CPNS atau ASN PPPK. Sejak dulu, wilayah ini dikenal sebagai "tempat pembuangan."Â
Tantangan besar bagi seorang guru ketika mengabdi di wilayah Kecamatan Simbuang adalah perjalanan dan budaya warga lokal. Dua hal inilah yang menguji mental, integritas, disiplin dan komitmen mengangkat pelayanan pendidikan di Simbuang.Â
Inilah yang saya alami mulai dari perjalanan pertama pada bulan September 2023. Jarak 70 km dari kota Makale harus ditempuh selama 4-5 jam menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan mobil jenis 4x4 atau truk, durasi perjalanan berkisar antara 6-8 jam. Ini kondisi normal ketika musim kemarau. Akan berlipat ganda durasi waktu jika memasuki musim hujan.Â
Kecamatan Simbuang berada di atas ketinggian dengan karakter hutan pinus dan sabana. Cuaca di sana sangat dingin.Â
Oleh karena di atas ketinggian inilah yang membuat akses jalan satu-satunya ke sana tergolong ekstrim. Di musim kemarau, jalan berupa tanah dan bebatuan. Jalan tanah seolah aspal, mengkilat dilindas ban motor dan truk. Jalan berbatu meninggalkan kenangan bagi pengendara, entah itu luka, lecet dan memar karena terjatuh.Â
Jaringan listrik memang sudah ada di Simbuang, tetapi bukan dari PLN. Mesin turbin adalah sumber utama kelistrikan. Beberapa lainnya menggunakan tenaga surya dan mesin genset. Sisanya masih bergumul dalam kegelapan menggunakan penerang konvensional.Â
Jaringan internet pun sangat terbatas. Hanya tersedia di tempat tertentu di perbukitan. Sinyal telepon dan internet datang dari wilayah Nosu di Kabupaten Mamasa. Kondisi inilah yang kadang membuat repot seorang guru ketika ia menjalankan tugas luar.Â
Seperti yang dialami CGP Kristian Betteng. Selama menjadi guru ASN PPPK di Simbuang, ia merangkap tugas sebagai bendahara dana BOS. Seringkali ia harus bolak-balik ke kota Makale untuk menggantikan tugas kepala sekolah. Ia masih di tengah perjalanan ketika ia mendapat SMS atau pesan WhatsApp dan Messenger untuk kembali ke kota. Padahal sudah lewat setengah perjalanan untuk mencapai Simbuang. Kondisi ini juga berlaku untuk guru-guru yang lain.Â
Rasa capek dan letih serta kadang rasa takut selalu menyertai mereka yang bertugas di wilayah Simbuang. Terutama bagi warga pendatang. Ruas jalan sebagian besar berupa hutan, sabana dan sesekali bertemu rumah warga. Sekitar 40 km jalan didominasi hutan dan sabana.Â
Kelangsungan proses pembelajaran pada umumnya terganggu pada hampir semua jenjang sekolah di Simbuang. Kondisi di mana para guru kembali ke kampung atau ke kota, menjalankan tugas di luar Simbuang, kadang perjalanan pulang kembali ke Simbuang terganggu oleh tidak kondusifnya jalan untuk dilewati.Â
Terlebih pada waktu musim hujan tiba. Kelas-kelas pasti banyak yang kosong tanpa guru. Hanya satu dua guru yang mengemban tugas mengontrol sekolah. Umumnya mereka adalah guru honorer dan ASN PPPK.Â
Para guru terhambat jalannya karena tanah longsor di hampir seluruh titik jalan menuju Simbuang. Seperti yang terjadi pada bulan April 2024. Kelas-kelas banyak yang tak mendapat layanan guru. Para guru harus menunggu jalan ang tertutup bisa dilalui kembali.Â
Ada beberapa yang memaksa lewat dengan bantuan warga lokal atau rekan seperjalanan mengangkat motor yang terjebak bebatuan besar, pohon tumbang dan lumpur. Tuntutan tanggung jawab berjalan bersama dengan taruhan nyawa melintasi jalan yang masih labil longsor dengan sisi kanan jurang menganga.Â
Jika diberikan bobot, 50% kondisi jalan adalah tantangan berat dan 50% berikutnya adalah kehidupan masyarakat lokal yang masih dipengaruhi dengan kuat oleh aliran kepercayaan (alukta) atau agama Hindu Dharma Toraja.Â
Adat istiadat dan budaya setempat sering menjadi bahan cerita mistis para guru pendatang yang ditempatkan di Simbuang. Cerita dari mulut ke mulut yang berlangsung turun-temurun pula yang banyak memberikan rasa takut kepada guru untuk mengabdi di Simbuang. Padahal, semua itu adalah faktor pengaruh kehidupan warga lokal yang masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya.Â
Inilah kondisi dan tantangan sebagai guru di wilayah kecamatan Simbuang. Harus memiliki jiwa besar dan semangat pelayanan yang tulus agar bisa bertahan di Simbuang yang terpencil, terjauh dan terluar dalam wilayah administrasi pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H