Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilematisnya Seragam Sekolah

19 April 2024   06:55 Diperbarui: 21 April 2024   21:24 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama peserta didik di kelas. Sumber: dok. pribadi.

Sekolah adalah tempat menimba ilmu bagi peserta didik. Ini adalah tempat mereka mendapatkan pengajaran dan didikan. Ajaran dan didikan inilah yang menjadi bekal mereka di kemudian hari untuk bisa bertahan hidup dalam konteks kehidupan yang lebih kompleks.

Dalam hal berjalannya sistim pendidikan di Indonesia, salah satu ciri khas persekolahan adalah keberadaan seragam sekolah. Meskipun sudah ada ketentuan tentang warna seragam sekolah dari jenjang taman kanak-kanak hingga Sekolah menengah atas, akan tetapi pada faktanya, setiap Sekolah memiliki model dan warna seragam sekolahnya sendiri.

Secara umum seragam sekolah sduah diatur sedemikian sederhana oleh pemerintah. Putih merah untuk SD, putih biru untuk SMP dan putih abu untuk SMA. Hanya saja, sergama ini kemudian dimodifikasi di setiap sekolah. Ada pengadaan seragam sekolah tambahan. Ada yang berupa rompi, batik dan pakaian olah raga. Ini belum termasuk kostum khusus setiap kegiatan ekstrakurikuler.

Lalu, ketika ada pertanyaan, katanya sekolah gratis pendidikan gratis, loh kok biaya seragamnya mahal? Jadi, sebenarnya tak ada yang gratis sepenuhnya. Uang sekolah dan buku-buku mungkin susah gratis, disipakqn oleh pemerintah, tetapi yang berbayar adalah seragam sekolah "ikonik". 

Pemakaian seragam sekolah tentunya membawa dampak positif. Ada persamaan kualitas bagi sesama peserta didik ditinjau dari kesejahteraan ekonomi. Seragam sekolah menunjukkan identitas sekolah juga. Hanya dengan melihat seragam sekolah, orang sudah bisa mengidentifikasi nama sekolah dan lokasinya. 

Tak ada persaingan kaya dan miskin ketika seragam sekolah itu digunakan. Dengan satu catatan bahwa seragam sekolah itu yang sesuai dengan peraturan pemerintah dan sudah tersedia di pasar rakyat secara luas.

Persoalannya muncul kemudian ketika seragam sekolah itu mengarah ke trend. Baik Sekolah negeri maupun swasta seperti berlomba-lomba menghadirkan seragam Sekolah ikoniknya. Sehingga, seringkali pengadaan seragam Sekolah ini justru menjadi beban bagi peserta didik dan orang tuanya. 

Melihat perjalanan seragam sekolah selama ini, posisinya bukan sebagai bagian pelengkap. Seragam sekolah sudah condong ke "peralatan perang" wajib bagi peserta didik. Artinya, agar seorang anak bisa masuk di sebuah sekolah, salah satu syaratnya adalah membeli seragam sekolah. Biaya terkait seragam sekolah ini pun tergolong mahal. Seringkali menjadi beban bagi peserta didik dan orang tuanya.

Secara tersirat, ada praktik bisnis di dalam pengadaan seragam Sekolah setiap tahun ajaran baru. Kerja sama sekolah dengan vendor atau konveksi sudah pasti menjadi kebutuhan eksternal sekolah. Selanjutnya, tagihan-tagihan biaya akan mengikuti setiap peserta didik di sekolah. 

Trend seragam sekolah ini memang membuat penampakan sebuah sekolah elegan. Warna seragam sekolah pun menjadi cikal bakal lahirnya logo sekolah. Sehingga, dalam praktiknya, agak rumit menghilangkan seragam sekolah.

Misalnya, di sekolah tempat saya mengajar. Terdapat dua macam seragam Sekolah yang wajib dimiliki setiap peserta didik. Satu seragam batik dan satunya lagi kostum olah raga. Selain itu, peserta didik juga wajib menggunakan sepatu, kaos kaki, dasi, dan topi yang memuat nama dan logo Sekolah.

Total biaya yang harus dibayar oleh orang tua peserta didik berkisar antara 450.000 hingga 600.000 yang dibayar sekaligus.

Bagi peserta didik yang lalai atau lupa mengenakan seragam Sekolah dan kelengkapannya akan mendapatkan sanksi dari Sekolah. Sanksi  ini berupa pemberian poin pelanggaran. Contohnya, tidak memakai batik khusus Sekolah pada hari Rabu dan Kamis, akan mendapatkan 5 poin. Setiap item terkait seragam yang dilanggar akan memperoleh 3-5 poin. 

Khusus di sekolah saya, tradisi seragam Sekolah ini sudah ada jauh sebelum saya ditempatkan sebagai guru. Seragam sekolah sudah banyak mengeluarkan peserta didik atau pondah sekolah karena poin pelanggarannya mencapai 100.

Memang, ada dilema antara kewajiban mengenakan seragam sekolah pada hari tertentu dengan kebutuhan belajar peserta didik itu sendiri. 

Sementara itu, pada jenjang SD pun tak terlepas dari pengadaan seragam aneka warna dan model. Di tempat anak pertama saya menempuh pendidikan dasar, setiap hari itu ada perbedaan kostum. Hari senin, memakai seragam putih merah lengkap dengan dasi merah. Hari Selasa dan Rabu, mengenakan seragam putih, rompi biru, dasi biru dan celana biru. Hari Kamis, memakai batik khas sekolah. Hari Jumat, seragam olahraga dan hari Sabtu, kostum pramuka. 

Jadi, kebutuhan seragam sekolah anak SD saja, saya sudah menghabiskan biaya jutaan rupiah. Jumlahnya cenderung mahal dibandingkan iuran bulanan anak.

Kesimpulannya, seragam Sekolah dan segala kelengkapannya telah menjadi tren turun-temurun. Selain itu telah menjadi bagian pemberlakuan tata tertib Sekolah. Pengadaan seragam Sekolah sekaligus menjadi bagian bisnis terselubung oknum tertentu di lingkungan satuan pendidikan.

Seragam sekolah masih mewarnai gemerlapnya kebijakan peningkatan mutu pendidikan sementara di sisi lain menjadi kewajiban yang harus di penuhi oleh orang tua/wali peserta didik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun