Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Refleksi Atas Masifnya Bencana Tanah Longsor di Tana Toraja

17 April 2024   13:07 Diperbarui: 18 April 2024   13:13 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meninjau lokasi longsor di Palesan. Sumber: dok. pribadi. 

Bulan April 2024 adalah bulan duka untuk Kabupaten Tana Toraja. Secara berentetan, bencana alam berupa tanah longsor terjadi di hampir seluruh kecamatan di Bumi Lakipadada. Lembang (desa) Palesan kini terisolasi. Longsor hampir ada di sepanjang jalan kabupaten di sana. Akses jalan ke Kecamatan Bonggakaradeng, Simbuang dan Mappak pun terputus. 

Tercatat, 21 korban meninggal dunia tertimbun longsor di dua tempat. 17 korban jiwa di dusun Palangka, Kelurahan Manggau dan 4 korban jiwa di dusun Pangra'ta', Lembang (desa) Randanbatu, Kecamatan Makale Selatan. Dari dua lokasi longsor ini, kejadiannya terjadi hampir bersamaan pada malam tanggal 13 April 2024.

Bencana ini tercatat sebagai bencana terbesar yang pernah terjadi di Tana Toraja dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Masifnya bencana tanah longsor di seantero Tana Toraja tentunya memberikan peringatan akan kelestarian alam. 

Sumber: Badan SAR Nasional Makassar. 
Sumber: Badan SAR Nasional Makassar. 

Jika dianalisis, penyebab utama tanah longsor adalah tingginya curah hujan di Tana Toraja sejak akhir bulan Maret. Anomali cuaca membawa hujan lebat yang tak bisa diprediksi setiap hari. Panas terik menyengat di siang hari, sore hingga subuh, hujan turun tiada henti. 

Seperti diketahui pula, bahwa bencana banjir pernah melanda kota Makale beberapa pelan sebelum kejadian tanah longsor. Hujan lebat hanya 4 jam di kecamatan tetangga, membawa tumpahan air ke kota Makale. Peringatan dan informasi dari BMKG Tana Toraja sering dirilis sebagai tanda kondisi cuaca. Namun, tak pernah ada yang memprediksi akan masifnya bencana yang diawali dari curah hujan tinggi. 

Mendalami kondisi lingkungan sekitar tempat terjadinya longsor, memang pepohonan masih ada, hanya saja mulai jarang. Berikut, topografi tanah ada di perbukitan dan lembah. Sehingga pemukiman warga yang terdampak pun di bangun di sekitar pinggir jalan raya yang berupa tebing. 

Sumber: Mangguali Sapaty
Sumber: Mangguali Sapaty

Dari kacamata pertanian, lokasi longsor banyak dimanfaatkan sebagai lahan tanaman palawija, kopi dan coklat. Pola pembukaan lahan dan pekerjaan sepertinya perlu perbaikan di masa mendatang. Warga sebaiknya mengurangi penggunaan herbisida. Tambahan pula, tanaman palawija rentan pemakaian racun rumput dan pupuk kimia. 

Ketika pembukaan lahan, pohon-pohon besar seperti pinus banyak yang ditumbangkan. Dalam waktu 5-10 tahun, akar pinus akan keropos dan membuat tanah labil karena tak ada tanaman penyangga pengganti. Pohon pinus berganti tanaman jagung, wortel, sawi, daun bawang dan sejenisnya. 

Meninjau lokasi longsor di Palesan. Sumber: dok. pribadi. 
Meninjau lokasi longsor di Palesan. Sumber: dok. pribadi. 

Pada sisi lain, kebiasaan warga lokal dalam membangun rumah di pinggir jalan yang berupa tebing juga rentan. Apalagi, di sekitar lokasi bencana juga belum terlalu lama penyelesaian pelebaran dan pengaspalan jalan. Banyak pohon dikorbankan, sementara kontur tanah labil. 

Sumber: Forum Relawan Bahodopi
Sumber: Forum Relawan Bahodopi

Ketika saya berkunjung ke kampung Karappak bersama pengurus Kerukunan Keluarga Palesan untuk membawa bantuan, saya menyaksikan dengan jelas hunian-hunian warga yang dibangun di lokasi yang sangat rawan bencana. Tiang-tiang cor dan kayu berdiri di sisi tebing yang curam, sementara teras rumah rata dengan permukaan jalan. Di depan rumah adalah tebing tinggi dengan kondisi tanah yang selalu merembes airnya. 

Belum lagi, saluran limbah rumah tangga yang tidak tertata dengan baik. Rembesan air lama-kelamaan bisa membuat rapuh tanah di sekitar rumah. Ladang sayur dan jagung juga kerap mengelilingi sekitar pemukiman. Tanpa pohon dan tanpa tanaman penyangga. Ketika hujan lebat, tanah tak mampu menyimpan air lagi. 

Bebatuan besar yang selama puluhan tahun dianggap tak akan bisa dipecahkan oleh excavator, justru terjatuh sendiri menutupi akses jalan. Apakah bumi sudah tua hingga bebatuan yang terlihat abadi pun ikut bergerak? Entahlah, tanggung jawab kita semua untuk menjaga alam. 

Kontribusi semua elemen pun sangat dibutuhkan untuk pemilihan kondisi alam di Tana Toraja di masa akan datang. Perlu edukasi bagi warga yang tinggal di wilayah perbukitan agar memperhatikan penggunaan herbisida dan pupuk kimia. Dinas Tata Ruang pun wajib mengedukasi warga terkait lokasi kondusif dalam membangun rumah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun