Pada sisi lain, kebiasaan warga lokal dalam membangun rumah di pinggir jalan yang berupa tebing juga rentan. Apalagi, di sekitar lokasi bencana juga belum terlalu lama penyelesaian pelebaran dan pengaspalan jalan. Banyak pohon dikorbankan, sementara kontur tanah labil.Â
Ketika saya berkunjung ke kampung Karappak bersama pengurus Kerukunan Keluarga Palesan untuk membawa bantuan, saya menyaksikan dengan jelas hunian-hunian warga yang dibangun di lokasi yang sangat rawan bencana. Tiang-tiang cor dan kayu berdiri di sisi tebing yang curam, sementara teras rumah rata dengan permukaan jalan. Di depan rumah adalah tebing tinggi dengan kondisi tanah yang selalu merembes airnya.Â
Belum lagi, saluran limbah rumah tangga yang tidak tertata dengan baik. Rembesan air lama-kelamaan bisa membuat rapuh tanah di sekitar rumah. Ladang sayur dan jagung juga kerap mengelilingi sekitar pemukiman. Tanpa pohon dan tanpa tanaman penyangga. Ketika hujan lebat, tanah tak mampu menyimpan air lagi.Â
Bebatuan besar yang selama puluhan tahun dianggap tak akan bisa dipecahkan oleh excavator, justru terjatuh sendiri menutupi akses jalan. Apakah bumi sudah tua hingga bebatuan yang terlihat abadi pun ikut bergerak? Entahlah, tanggung jawab kita semua untuk menjaga alam.Â
Kontribusi semua elemen pun sangat dibutuhkan untuk pemilihan kondisi alam di Tana Toraja di masa akan datang. Perlu edukasi bagi warga yang tinggal di wilayah perbukitan agar memperhatikan penggunaan herbisida dan pupuk kimia. Dinas Tata Ruang pun wajib mengedukasi warga terkait lokasi kondusif dalam membangun rumah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H