Idul Fitri adalah hari yang paling dinantikan setiap tahun, bukan hanya oleh warga Muslim saja, melainkan juga bagi non Muslim. Ini adalah hari di mana semua rumpun keluarga bisa bersama-sama lagi dalam sebuah suasana bahagia dan penuh kekeluargaan.
Setiap daerah tentunya memiliki istilah dan bahasa sendiri terkait tradisi di hari lebaran. Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda satu sama lain, tetapi tetap memiliki makna yang sama, silaturahmi.Â
Warga Duri di Kabupaten Enrekang dan warga Toraja masih memelihara satu tradisi yang dilaksanakan di hari raya Idul Fitri. Tradisi ini dikenal dengan nama "Massiara." Entah dari mana asal muasal istilah ini, akan tetapi sudah menjadi tradisi turun-temurun.Â
"Male massiara atau tamale massiara" adalah ajakan bagi keluarga, kerabat dan tetangga untuk melakukan kunjungan ke rumah handai taulan yang merayakan Idul Fitri. Peserta "massiara" tidak hanya sesama Muslim. Bagi warga non Muslim, istilah ini pun berlaku.Â
Inilah yang saya jalankan juga sebagai warna non Muslim yang memiliki keluarga, kerabat, teman dan rekan kerja Muslim. Saya dan keluarga "male massiara" kepada satu sanak famili dan satu rekan kerja di wilayah kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.Â
"Massiara" secara filosofis berarti melakukan silaturahmi, saling memaafkan dan mempererat tali persaudaraan. Bagi warga Muslim, "massiara" langsung dilakukan seusai shalat Ied. Mereka saling berkunjung ke tetangga. Selebihnya, dilakukan setelah menerima tamu yang datang "massiara" di rumah masing-masing.Â
Layaknya tradisi pada hari-hari besar keagamaan lainnya, "massiara" yang telah menjadi istilah khusus bagi warga Muslim di masa lebaran, justru diartikan lebih sederhana oleh anak-anak. Muslim atau bukan, anak-anak yang pergi "massiara" justru mengartikannya sebagai ajang makan-makan, menerima bingkisan lebaran berupa amplop berisi uang 2000 dan 5000 hingga menerima paket kecil berisi minuman ringan dan aneka snack.Â
Sehingga "male massiara" bagi anak-anak justru menjadi pemandangan yang unik dan meriah di sekitar wilayah Duri Enrekang dan Toraja. Anak-anak akan bergerombol mengunjungi rumah Muslim satu persatu.Â
Dari setiap rumah, anak-anak ini akan mendapatkan bingkisan lebaran. Makin banyak rumah yang ditempati "massiara", makin banyak pula bingkisan yang mereka bawa pulang. Seru ya!Â
Bagi orang dewasa, "massiara" bermakna bersalaman, berpelukan, saling memaafkan dan ditutup dengan jamuan makan menu khas Idul Fitri. Khusus di daerah Duri, Enrekang, sajian istimewa "massiara" adalah Nasu Cemba, aneka olahan daging sapi dan ayam, tapai ketan, es sirop, burasa, ketupat, gogos, dan tentunya menu yang hanya hadir di masa lebaran, yakni lappa'-lappa'.Â
Sahnya "massiara" adalah ketika ada sesi makan-makan. Biasanya, keluarga yang merayakan Idul Fitri juga menyiapkan bingkisan berupa lauk, kue kering, dan aneka makanan lainnya.Â
Dengan demikian, ketika pulang "massiara" dan ditanya "umba passiaranmi?"maka jawabannya adalah dengan menunjukkan bingkisan yang diterima dari keluarga yang dikunjungi.Â
Khusus "passiara" yang kami jalankan ke daerah Enrekang, kami juga mendapatkan bungkusan plastik berisi bawang merah. Bukan karena kebetulan, keluarga yang kami kunjungi memang berprofesi sebagai petani bawang merah dan tomat. Termasuk rekan kerja saya yang bernama ibu Hartati. Ia juga mengelola ladang bawang merah.Â
Hanya saja, sehari sebelumnya, bawang yang telah dipanen dan siap dijemur, justru habis tersapu luapan air dari gunung akibat hujan lebat selama tiga hari menjelang Idul Fitri.Â
Kegiatan "massiara" kami yang terkait ditutup dengan mengunjungi keluarga sekaligus rekan kerja yang ada di wilayah Tana Toraja. Di rumah rekan kerja, bapak Rustan, banyak sekali tamu yang datang "massiara." Umumnya adalah tetangga non Muslim, mantan rekan kuliah, mantan siswa dan rekan-rekan kerja beliau.Â
Di rumah pak Rustan, menu "massiara" yang disajikan adalah puding, burasa, soto ayam, gogos, lappa'-lappa' dan tentu saja beragam olahan lauk dari daging ayam dan sapi. Satu yang khas adalah nasi ketan atau sokko' Gandangbatu. Aromanya sangat nikmat apalagi dibungkus dengan daun pisang.Â
Kami pun menerima bingkisan "massiara" berisi burasa, lappa'-lappa' dan sokko'. Perjalanan "massiara" kami usai menjelang pukul 9 malam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H