Bulan Ramadan adalah salah satu waktu yang paling dirindukan oleh warga Muslim. Ini adalah masa menguji kekuatan iman dalam menghadapi berbagai cobaan. Banyak cara dilakukan oleh warga Muslim agar tetap mampu menjalankan ibadah puasa. Mereka pun perlu menyesuaikan dengan daerah atau wilayah di mana mereka berada.
Nah, pada bulan Ramadan tahun ini menjadi masa bulan puasa keempat bagi dua orang guru PPPK yang mengabdi di SMAN 13 Tana Toraja, Lembang (desa) Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang.
Mereka adalah ibu Riris dan bapak Syahrul. Spesial karena puasa perdana sebagai guru ASN PPPK. Tiga tahun sebelumnya mereka menjalani puasa sebagai guru honorer di wilayah terpencil Kabupaten Tana Toraja.Â
Tempat mereka mengabdi saat, Lembang Puangbembe adalah daerah tanpa penduduk Muslim. Mereka berdualah yang Muslim di sana. Mayoritas warga di sana masih menganut kepercayaan Alukta, Kristen dan Katolik.Â
Agar tetap lancar menjalankan ibadah Puasa, ibu Riris dan pak Syahrul selalu mengadakan perjalanan bolak-balik, dari Puangbembe Mesakada ke pasar Lekke' yang ada di Kelurahan Sima.Â
Lekke' adalah ibu kota Kecamatan Simbuang. Di sana ada sebuah masjid kecil satu-satunya yang ada di Kecamatan Simbuang. Itulah tempat di mana ibu Riris dan pak Syahrul menghabiskan waktu sore hingga pagi hari.Â
Memang masih sangat minim warga Simbuang yang beragama Islam. Kebanyakan mereka yang Muslim adalah warga pendatang yang berdagang di pasar Lekke'. Sisanya pegawai yang ditugaskan di sana. Namun, tak seberapa.Â
Selepas mengajar, ibu pak Syahrul akan berboncengan motor dengan ibu Riris ke Lekke' pada sore hari. Jarak yang ditempuh adalah 7 km, sehingga setiap hari mereka menempuh 14 km pergi pulang.
Jarak sebenarnya dekat, dari halaman sekolah SMAN 13 Tana Toraja pun pasar Lekke' bisa dipandang mata. Akan tetapi, kondisi jalan tanah berlumpur bergantian dengan jalan berbatu dan bekas rabat betonlah yang menjadi tantangan perjalanan keduanya selama menjalani ibadah puasa.Â
Kedua guru muda yang juga bertetangga di kampung asalnya, yakni Ge'tengan, Kecamatan Mengkendek (jalur masuk bandara Toraja Airport) tetap kompak menjalankan ibadah puasa mereka.
Berpuasa di antara mayoritas warga non-Muslim tentu memiliki tantangan tersendiri. Sekilas mereka berdua seperti saudara kandung. Pada sisi lain, rekan-rekan kerja justru menjodohkan mereka.Â
Pak Syahrul memiliki kelebihan. Ia sering menjadi pemimpin sholat dan pemberi khutbah di masjid ketika ada di Lekke'. Adapun ibu Riris yang ahli memasak, bertugas membantu warga Muslim di sana untuk menyiapkan menu berbuka dan sahur. Mereka melakukan buka dan sahur bersama di masjid.Â
Sebelum kembali ke masjid di Lekke', setiap sore ibu Riris masih menyempatkan diri membuat kue untuk dijual di sekolah keesokan harinya. Animo siswa membeli kue tetap tinggi di bulan ramadan di Puangbembe Mesakada karena warga di sana tak ada yang Muslim.Â
Demikianlah kesimpulan dari pengalaman mereka yang saya dapatkan ketika melakukan pendampingan individu keenam program pendidikan guru penggerak di UPT SMPN Satap 2 Simbuang. Sebelum masuk Ramadan, kami selalu menginap bersama di dalam eks ruang kelas yang disekat menjadi empat bilik kamar. Kami makan, tertawa, bercanda dan bertukar pikiran bersama.Â
Cara menjalankan ibadah puasa yang dilakukan oleh ibu Riris dan pak Syahrul, pada umumnya berlaku pula buat para guru dan pegawai Muslim yang ditempatkan di Kecamatan Simbuang. Mereka wajib menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, adat istiadat, budaya dan kearifan lokal warga setempat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H