Empat titik pergumulan warga Simbuang ketika kembali ke sana dari arah kota Makale adalah Talayo, Sa'dan, Leppan dan Petarian. Tempat yang didominasi tanjakan berbatu ini sekaligus menjadi pergumulan saya ketika menjalankan tugas ke Kecamatan Simbuang.Â
Mengendarai motor sendiri atau menjadi penumpang ojek, capek dan ujiannya hampir sama. Lebih ekstrim lagi ketika musim hujan tiba.Â
Bagian akhir cerita perjalanan ke Kecamatan Simbuang dalam rangkaian pendampingan individu keenam pendidikan guru penggerak, saya lanjutkan dari kampung Petarian yang didominasi tanjakan kombinasi jalan tanah, bebatuan dan bekas rabat beton. Berdasarkan informasi dari tiga orang guru yang kembali dari Kecamatan Mappak, jalan dari Leppan hingga Lekke' pada umumnya baik untuk dilalui. Kecuali di sekitar Puangbembe.Â
Oleh karena hujan lebat baru saja selesai, kekhawatiran saya adalah tanah longsor. Apalagi di Petarian, ada satu titik dimana lomgsorannya adalah bebatuan yang langsung berbatasan dengan sebuah jurang.Â
Ternyata, setelah sukses melewati tanjakan tercuram di Petarian, perjalanan saya tergolong baik-baik saja. Dua kelompok kerbau liar dan satu kelompok sapi liar kembali menyapa saya di sekitar Petarian. Oya, Talayo, Sa'dan, Leppan dan Petarian tergabung dalam satu wilayah pemerintahan, yakni Lembang Makkodo. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Lembang Makkodo adalah wilayah paling ekstrim ketika melintasi Kecamatan Simbuang.Â
Melewati Gereja Toraja di Makkodo jalan rabat beton terus mendaki. Memasuki pertigaan ke Gereja Kibaid Jemaat Makkodo, patahan rabat beton sangat sulit dilalui. Panjangnya hanya 20 meter. Hanya saja berada di tikungan dan menanjak. Kondisi jalan pun sangat berlumpur. Tambahan pula, kabut tebal mulai menutupi pandangan. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Saya harus turun dari motor dan mendorongnya melewati tanjakan berlumpur.Â
Setelahnya, sekitar satu kilometer pandangan saya terhambat oleh kabut tebal. Lampu kabut pun tak mampu menembus tebalnya kabut. Ingin berhenti, tapi basah sudah sangat terasa di tubuh saya. Rumah penduduk pun hanya satu dua saja.Â
Ketika kabut tebal telah saya lewati, tantangan berikutnya adalah jalan landai dan tata di Lembang Makkodo yang ada di puncak pengunungan. Terdapat satu titik longsor dengan sisi jalan yang berlumpur.Â
Lalu, ada pula pohon pinus yang tumbang tapi tak sampai menutupi badan jalan. Lokasinya di bekas longsor tahun lalu.Â
Saya berhenti sekitar 20 menit di kampung Rando'. Di lokasi ini sering dijimpai kawanan kerbau dan kuda liar. Tak ada rumah, selain bekas sawah dan sabana. Suara jeram air sungai terdengar jelas sehabis hujan. Saya sempatkan membalas pesan WhatsApp di tempat ini. Jaringan Telkomselnya agak bagus juga.Â
Memasuki Kelurahan Sima, di depan gereja Katolik, motor trail saya sempat membuat zig zag karena lumpur tebal di tengah jalan. Beruntung, saya tak terjatuh.Â
Pasar Lekke' terlihat sepi menjelang pukul 9 malam. Lampu listrik dari tenaga turbin memainkan cahaya kembang-kempis.Â
Saya sempat singgah minum air hangat di kantor sekretariat Panwaslu Kecamatan Simbuang di Lekke'. Ketika melintas, saya melihat ada kegiatan di sekretariat. Ketua Panwaslu Kecamatan Simbuang, bapak Pasa Maraya yang juga sedang mengutak-atik laptop mengajak saya singgah.Â
Memasuki Lembang Puangbembe Mesakada, perjalanan saya kembali terhenti beberapa puluh menit ketika di depan saya terdapat satu truk penuh muatan terjebak dalam lumpur. Sebenarnya bukan kubangan, tetapi aliran air sungai yang pernah ditimbun pada musim kemarau yang lalu.Â
Menurut sopir truk, sejak jam 3 sore mereka terjebak. Ban belakang mobil terendam lumpur. Waktu saat itu hampir pukul 10 malam. Posisi truk tak memungkinkan motor untuk lewat. Saya pun turut membantu menarik truk bersama sejumlah pemuda yang datang  dari Pasar Lekke'.Â
Butuh tiga kali percobaan menarik hingga truk berhasil keluar dari jebakan lumpur. Kata warga setempat, mungkin saya yang ditunggu. Kami masih sempat bercanda sebelum saya pamit melanjutkan perjalanan.Â
Setelah melewati sungai kecil tempat truk terjebak, Â saya melanjutkan ke tujuan saya yang tersisa sekitar dua kilometer lagi. Satu pagar pembatas ternak liar terbaru kembali menghadang saya. Selanjutnya kegiatan buka dan tutup saya lakukan.Â
Sisa perjalanan saya ditemani oleh tanjakan landai berbatu menuju tempat saya menginap. Bebatuan bertebaran sepanjang jalan. Mendekati lokasi, jalan makin becek dan berkumpur.Â
Akhirnya, saya tiba di UPT SMPN Satap 2 Simbuang pukul 10 malam. Ternyata, dari tadi rekan Calon Guru Penggerak yang saya dampingi menghubungi saya. Hanya saja jaringan internet dan telepon terbatas. Air hangat dan kopi pahit segera tersaji. Kami lama bercerita pada pondok di halaman eks bangunan sekolah yang menjadi tempat saya menginap. Banyak cerita yang tak mengenal kata berakhir. Makan malam jam setengah 12 malam terasa nikmat. Saya tertidur pulas pada pukul 2 subuh ketika dua orang masihnasik bercerita di pondok.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H